Stephanie
"Aku mau menelepon Daisy. Aku selalu video call dengannya setiap minggu, " ujar Carlos. Dia beranjak dari tempat tidur dan menyambar kaus.
Tak sedetik pun aku mengalihkan perhatian darinya.
"Kamu bisa meneleponnya di sini," ujarku.
Seharusnya aku memberikan waktu kepadanya, tapi aku tidak ingin berjauhan darinya. Aku juga berharap dia memperkenalkanku pada Daisy. Aku hanya mengenal Daisy lewat cerita, dan betapa beruntungnya Daisy memiliki kakak yang sangat menyayanginya.
Carlos beranjak ke lemari. Tak lama, dia kembali dengan sehelai baju. Carlos membantuku memakaikan baju tersebut. Sebelumnya aku selalu protes setiap kali dia membantuku melakukan hal kecil, seperti memasang dan membuka seatbelt, menyisir rambut, atau memakaikan baju. Aku takut dia membuatku tampak lemah, tapi perhatian tersebut menyentuh hatiku. Dia melakukannya bukan karena menganggap aku lemah dan tidak bisa apa-apa. Sebaliknya, itu caranya menunjukkan dia peduli kepadaku.
"Kamu mau ngobrol sama Daisy? Aku belum ngenalin kalian secara resmi."
Penuturannya membuatku terpaku. "Dia tahu soal aku?"
Carlos tersenyum. "Aku enggak bisa menyimpan rahasia. Begitu Daisy melihatku, dia tahu ada yang berbeda. Jadi aku jujur soal kamu dan anak kita."
Jantungku langsung berdegup kencang. "Bagaimana tanggapannya?" Apa dia menerimaku? Atau membenciku karena membuat kakaknya menjadi seorang ayah secepat ini? Aku menunggu jawaban Carlos dengan jantung berdebar, berharap agar Daisy menerimaku.
"Dia sudah enggak sabar mau ketemu kamu," jawabnya.
Aku ingin percaya, tapi ada ragu di hatiku. Bagaimana kalau itu hanya akal-akalan Carlos?
Dering telepon membuyarkan kekhawatiranku. Tidak begitu halnya dengan debaran jantungku. Saat Carlos mengangkat telepon, aku semakin deg-degan.
"Bli." Suara riang seorang perempuan memenuhi kamar.
"Bebe, gimana kabarmu?"
Aku mengintip dari balik pundaknya dan untuk pertama kalinya melihat Daisy. Dia begitu cantik dengan rambut hitam legam sepundak yang dibiarkan tergerai. Dia memiliki wajah bulat yang manis. Kulit sawo matang membuatnya semakin cantik. Carlos pernah bilang Daisy ingin menjadi penari, dan aku yakin dia bisa menaklukkan panggung di mana pun.
Daisy tidak mirip dengan Carlos. Sepertinya dia menuruni ibunya, sedangkan Carlos lebih banyak menuruni ayahnya. Aku tidak bisa menebak perasaannya, apa yang dirasakannya setiap kali bercermin? Mungkin dia pernah bertanya seperti apa ayahnya.
Di layar kaca, aku melihat Daisy duduk di kursi roda. Tidak seharusnya anak secantik itu menanggung akibat dari perlakuan ayah yang tidak bertanggung jawab.
Mata Daisy tertumbuk kepadaku. "Kak Fani?"
Dia mengenaliku? Aku menatap Carlos untuk meminta jawaban. Carlos tersenyum lembut sebelum kembali menatap layar handphone.
"Bebe, ini Fani. Fan, ini adikku, Daisy."
Aku melambai sementara Daisy menutup mulutnya.
"Bli, kenapa enggak bilang kalau Kak Fani secantik ini?"
Daisy yang terdengar polos membuatku ikut tertawa. Meski lewat perantara telepon, kehadirannya membuat semua kekhawatiranku hilang. Dia mengingatkanku kepada Carlos, terutama tatapan matanya. Ada ketulusan di sana. Sama seperti kakaknya, kehadiran Daisy memberikan efek menenangkan.
"Kamu lagi bikin apa?" tanyaku.
Daisy mengangkat rajutannya. "Selimut untuk keponakanku. Oh ya, aku sudah selesai bikinin topi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Yes, Darling
RomanceSetelah sepuluh tahun menikah tanpa cinta akibat dijodohkan, Stephanie memutuskan untuk bercerai. Tak ada waktu untuk masalah hati, karena posisi sebagai CEO Kawilarang Group menyita semua waktu. Untuk merayakan kebebasannya, Stephanie menghabiskan...