29. Persaingan

5.5K 607 4
                                    

Stephanie

Begitu masuk ke ruang meeting, semua mata memandang ke arahku. Tidak, tepatnya ke perutku. Blazer oversize tidak bisa menyembunyikan baby bump. Aku tidak menghiraukannya. Suatu hari nanti, kalau sudah capek menghakimi, mereka akan berhenti dengan sendirinya.

Mataku menyapu seisi ruangan. Di rapat besar ini, semua orang yang berkepentingan hadir. Aku ingat kali pertama hadir di rapat ini. Papa menempati kursi di ujung meja, kursi yang kutempati sekarang. Papa begitu berwibawa, semua mata menatap ke arahnya, mendengarkan penjelasannya dengan saksama.

Aku mencoba bersikap seperti Papa, tapi tanggapan yang kudapat berbeda. Aku jadi serba salah, selalu memikirkan bagaimana cara bersikap. Tegas seperti Papa, aku dibilang bossy dan emosional. Jika sedikit lunak, aku dibilang tidak punya aura pemimpin.

Mereka hanya mempertanyakan hal tersebut karena aku perempuan.

Jihane tersenyum kepadaku. Meski memiliki saham, Jihane jarang hadir di kantor. Kecuali di rapat penting kehadiran Jihane memberikan suntikan semangat.

Tatapanku terhenti di kursi yang diduduki Mama. Hatiku mencelus saat melihat Mama menatapku dengan wajah kecewa. Mama menatap perutku, lalu menggeleng. Meski aku meneguhkan hati, reaksi seperti itu nyatanya masih menyakitiku. Aku pikir sudah cukup kebas karena sejak kecil menerima perlakuan yang sama. Nyatanya, di sudut terdalam hatiku, aku masih menyimpan harapan kepada Mama. Harapan itulah yang tersakiti ketika Mama tidak menunjukkan bahwa dia menyayangiku.

Rapat dimulai dengan penjelasan mengenai laporan di kwartal pertama. Memang keuntungan yang didapat belum signifikan, tapi keadaan jauh lebih stabil dibanding sebelumnya. Menjelang akhir kepemimpinan Papa, ketika Papa semakin sering sakit, keadaan perusahaan mulai goyah. Hal tersebut berlangsung cukup lama.

Sekarang ada angin segar.

Aku memaparkan proyek Skyland yang menjadi proyek utama tahun ini. Sambil presentasi, aku menatap peserta rapat satu per satu. Mereka asyik sendiri, tidak mendengarkanku. Aku sengaja berhenti, dan berdiri diam di tempat, menunggu apakah mereka menyadari aku tidak lagi melanjutkan presentasi.

Di salah satu meja, aku melihat Tommy sibuk menjelaskan sesuatu kepada Pak Johnny, salah satu komisaris.

Aku berdeham. "Tom, is there something that you want to share?"

Suaraku sedikit meninggi, membuat Mama menatapku dengan keberatan. Setidaknya, aku berhasil menyita perhatian Tommy.

Tommy bangkit berdiri dan menghampiriku. Dia merapikan jas yang dipakainya. Tommy memang memiliki kepercayaan diri tinggi, dan hal tersebut bisa mempengaruhi orang lain. Sepintas lihat, dia tampak begitu berwibawa. Dia juga tampan, dengan tubuh proporsional yang dibalut jas mahal. Tommy memiliki penampilan yang pas sebagai seorang CEO.

Sayangnya, hal itu tidak dibarengi dengan etika bisnis juga pola kerja yang mumpuni.

"Ada hal penting yang harus saya share soal Highland."

Aku mengangkat tangan, menjauhkan remote presentasi dari jangkauannya. Tommy melayangkan tatapan tidak suka kepadaku.

"Berhubung Tommy menyinggung soal Highland, saya menegaskan satu hal. Highland tidak akan dilanjutkan. Saya sudah membentuk tim adhoc yang bertanggung jawab menghadapi kerugian konsumer." Aku mendahului.

"Tim adhoc? Kenapa saya tidak tahu?"

Aku tidak menghiraukan Tommy. "Kita menghadapi banyak tuntutan konsumer terkait proyek yang mangkrak. Tim adhoc berfungsi untuk advokasi, sebisa mungkin kita menghindari tuntutan hukum."

Yes, DarlingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang