Stephanie
Alba baru berusia dua minggu ketika aku kembali bekerja. Setidaknya, aku bisa bekerja dari rumah sehingga tidak perlu ke kantor. Artinya, aku bisa bersama Alba sehari penuh. Namun tetap saja, aku kewalahan harus berbagi antara Alba dan pekerjaan. Adaptasi yang tidak mudah, terlebih ketika aku harus terbangun tengah malam karena Alba.
Sekarang aku mengerti kekhawatiran Stevie. Setidaknya dia bisa menggantikan Nina jika anaknya terbangun tengah malam.
It's not that easy to be a mother. Especially a single parent like me. Dua puluh empat jam sehari terasa kurang, apalagi jika ada tanggung jawab lain yang menyita perhatianku.
Rasanya baru tertidur sebentar ketika tangisan Alba membangunkanku. Meski tubuhku memberontak, aku memaksakan diri untuk bangun.
Tangisan Alba tidak lagi terdengar. Mungkin itu hanya halusinasiku saja. Setiap malam, aku pasti terbangun oleh tangisan Alba, dan itu sudah menjadi rutinitas baru. Aku kembali merebahkan tubuh dan membiarkan tidur mengambil alih. Sampai pagi, aku tidak lagi terbangun.
Tidur dalam waktu lama membuatku bangun dalam keadaan segar. Sebuah perubahan kecil tapi sangat berarti. Ada yang berbeda pagi ini, tak biasa-biasanya Alba tidak membangunkanku dengan tangisannya. Semenjak ada Alba, aku tidak butuh alarm lagi.
Alba tidak ada di dalam box bayi. Rasa panik menguasai. Semalam, aku memastikan dia tertidur di box bayi sebelum aku berangkat tidur. Keringat dingin mengucur di punggungku ketika aku berlari seperti orang kesetanan, tidak tahu arah yang harus kutuju. Alba pasti ada di rumah ini.
"Fani?"
Aku menjerit dan berhenti berlari saat mendengar namaku dipanggil. Di kamar kosong yang kusulap menjadi kamar Alba, aku melihat Carlos. Dia tidak sendiri, ada Alba di gendongannya. Seketika, lututku lemas dan aku melorot ke lantai.
"Hei, kamu kenapa?" tanyanya. Carlos tampak kebingungan. Dia ingin membantuku, tapi kedua tangannya menggendong Alba.
Aku mengangkat tangan. "I'm fine." Setelah napasku kembali teratur, aku bangkit berdiri dan menghampirinya. "Biasanya Alba nangis pagi-pagi, terus aku panik karena enggak lihat dia."
Sejumput rasa bersalah membayangi wajah Carlos. "Sorry, aku bawa Alba ke sini biar enggak ngebangunin kamu."
Aku menggeleng. Tanganku berada di dada untuk menenangkan debar jantungku. "Semalam Alba juga nangis?"
Carlos mengangguk. "Setelah popoknya diganti, dia tidur lagi."
Ternyata aku tidak berhalusinasi. Alba memang menangis, tapi hanya sebentar.
"Kamu kapan datang?" tanyaku. Ketika aku beranjak tidur semalam, Carlos tidak ada di rumah ini.
Dia selalu datang setiap hari, di jam yang tidak menentu. Tergantung shift pekerjaannya. Kadang dia datang di pagi hari jika shift siang, atau di sore hari setelah selesai shift pagi. Dia selalu pulang tengah malam, setelah aku dan Alba sama-sama tidur.
"Kemarin ada acara di restoran, jadi pulangnya kemalaman. Tadinya mau mampir sebentar, mastiin kamu dan Alba baik-baik saja. Tapi aku malah ketiduran."
Mengapa aku bersyukur dia ketiduran?
"Kamu bisa tinggal di sini," ujarku.
Carlos tidak membalas, seperti sebelumnya, setiap kali aku menawarkan agar dia tinggal di sini.
"Maksudku, mungkin selama beberapa bulan ini, sampai aku dan Alba terbiasa." Aku menambahkan, tidak ingin membuat dia berkecil hati.
"Aku pertimbangkan. Kamu mau sarapan? Aku sudah siapin sarapan di bawah," ujarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yes, Darling
RomanceSetelah sepuluh tahun menikah tanpa cinta akibat dijodohkan, Stephanie memutuskan untuk bercerai. Tak ada waktu untuk masalah hati, karena posisi sebagai CEO Kawilarang Group menyita semua waktu. Untuk merayakan kebebasannya, Stephanie menghabiskan...
