51. Don't Want to Lose Her

4.3K 569 22
                                    


Carlos

"Bli." Panggilan Daisy menyentakku. Dia melambai dari arah ruang tunggu. Daisy tidak sendiri, ada Max bersamanya.

Setelah penerbangan yang terasa begitu panjang, akhirnya aku mendarat di Bali. Aku langsung menuju rumah sakit tempat Dita dirawat. Sudah sore, jalanan Bali tidak bersahabat, membuatku semakin frustrasi karena berkejaran dengan waktu.

"Gimana Dita?" tanyaku.

Max menggeleng. Sepanjang mengenalnya hampir lima tahun, baru kali ini aku mendapati Max begitu putus asa.

Aku berjongkok di depan Daisy agar sejajar dengannya. Matanya bengkak, aku bahkan masih bisa melihat air matanya yang belum kering sepenuhnya. Daisy langsung memelukku.

"Bli, Dita akan sembuh, kan?"

Pertanyaannya begitu menusuk. Rasanya ingin mengangguk. Demi Tuhan, seharusnya aku mengangguk. Dita pasti bisa melewati ini semua.

Hidup mengajarkanku untuk tidak terlalu bergantung pada harapan, terlebih untuk sesuatu yang tidak pasti. Selama ini, tidak ada harapanku yang terwujud.

Aku menangkup wajah Daisy dan mengusap air mata yang mengaliri pipinya. "Dita akan sembuh."

Daisy masih kecil, tidak seharusnya dia menanggung beban sebesar ini.

"What happened?" tanyaku pada Max.

Max menduduki kursi di sampingku. Mataku tidak bisa lepas dari pintu ruang UGD yang memisahkanku dengan Dita.

"Semalam Dita pulang ke rumah lo. Enggak ada yang tahu karena dia menyelinap masuk. Tadi pagi, Daisy nelepon ngasih tahu Dita ada di rumah." Max menjawab.

Aku refleks menggenggam tangan Daisy. "Siapa yang pertama nemuin Dita OD?"

Max tidak menjawab, tapi matanya tertuju pada Daisy. Aku refleks mempererat genggaman tanganku. Aku tidak bisa membayangkan betapa ketakutannya Daisy ketika mendapati Dita tidak sadarkan diri.

"Waktu gue datang, Daisy sudah bareng Dita. Dita enggak sadar, tapi masih bernapas. Kata dokter, telat sedikit lagi..." Max tidak perlu menyelesaikan perkataannya, aku bisa menebak kelanjutan ucapannya.

"Aku lihat Dita pulang semalam," bisik Daisy. Dia menunduk dan memainkan ujung bajunya. Suaranya terdengar lirih. "Dia bareng Yodi."

Aku ingat Yodi. Dia tetanggaku yang seumuran Dita. Meski dulu satu sekolah, mereka tidak akrab. Yodi sering berbuat onar, baik di sekolah maupun di lingkungan rumah. Bukan sekali dua kali Yodi berurusan dengan pecalang dan polisi.

Sekarang aku mengerti siapa yang menjerumuskan Dita. Pasti Yodi pelakunya.

"Mama di rumah?" tanyaku.

Daisy mengangguk.

"Dia enggak ikut ke rumah sakit?"

Di sampingku, Max mendengkus. "Nyokap lo menolak ikut karena nungguin suaminya yang enggak tahu diri itu pulang."

Aku tidak mengerti, apa yang dilihat Mama dari laki-laki tidak tahu diri itu? Aku tidak yakin Mama mencintainya. Mana mungkin dia mencintai laki-laki yang setiap hari hanya menyakiti dirinya dan anak-anaknya? Mama berubah drastis, kali terakhir aku bahkan hampir tidak mengenalinya karena tubuhnya yang begitu kurus dan wajahnya yang tidak memancarkan semangat hidup.

Entah apa yang membuat Mama mempertahankan pernikahan itu. Lama-lama, pernikahan itu bisa membunuhnya.

Daisy menyentak tanganku, membuatku menoleh ke arahnya. "Bli enggak balik ke Jakarta, kan?" tanyanya.

Yes, DarlingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang