25. Family Drama

6.9K 711 21
                                        

“Mama?” Aku hampir tidak mempercayai penglihatanku saat melihat Mama di rumahku. “Mama ngapain ke sini?”

Baik sejak saat aku masih menikah dengan Eric, Mama jarang berkunjung ke rumahku. Seumur hidup, bisa dihitung dengan jari berapa kali Mama menghampiriku. Itu pun untuk alasan tertentu. Kali terakhir, Mama menemuiku di rumah ini setelah aku memberitahunya akan bercerai. Mama membujukku untuk mengurungkan niat. Bukan karena aku, melainkan karena Mama takut perceraian itu turut memecah kerjasama di antara perusahaanku dan perusahaan mertuaku. Sampai sekarang, aku masih sebatas pion yang digerakkan setiap kali merasa menguntungkan.

Mama masih menolakku menggantikan Papa. Di matanya, Stevie jauh lebih berkompeten. Sepanjang yang aku tahu, Mama tidak pernah lelah membujuk Stevie. Awalnya Mama tidak menerima Nina sebagai istri Stevie, tapi sekarang Mama mengalihkan perhatiannya kepada Nina, berharap bisa mempengaruhi Nina agar membujuk Stevie.

Adik iparku itu memang masih muda, tapi di saat tertentu dia bisa menjadi sangat dewasa. Di saat aku dan Stevie memilih untuk tidak menggubris Mama, Nina dengan berani menantang Mama, meski berakibat pada merenggangnya hubungan mereka.

“Memangnya Mama harus minta izin buat nengokin anak sendiri?” Mama balas bertanya.

Rasanya ingin tertawa di hadapan Mama. Pertanyaan yang sangat retoris. Mama memang tidak perlu meminta izin, karena kenyataannya Mama tidak pernah menemuiku hanya karena kangen. Selalu ada agenda lain di belakangnya.

Sampai remaja, aku berusaha mendekatkan diri pada Mama. Semuanya kulakukan agar Mama mau menganggap kehadiranku. Namun, percuma. Bagi Mama, aku hanya anak perempuan yang dibutuhkan untuk memperkuat citra keluarga bahagia. Mama yang menjodohkanku dengan Eric, yang disetujui Papa karena melihat keuntungan di balik perjodohan tersebut.

“Tadi Mama ke kantor, tapi kamu enggak ada. Sudah tiga hari kamu enggak masuk.”

Aku meninggalkan Mama di ruang tamu dan menuju ruang kerja. Di belakangku, Mama mengikuti.

“Aku kerja dari rumah,” sahutku.

“Kenapa belakangan kamu jadi sering bolos begitu?”

Aku refleks menatap Mama. “Aku kerja dari rumah, Ma. Bukannya bolos.”

Namun, Mama tidak mengindahkan bantahanku.

Meski bekerja dari rumah, bukan berarti aku bisa seenaknya. Aku tetap menjalani tanggung jawabku. Justru tantangannya jadi lebih berat, karena aku tidak bisa mengawasi langsung apa yang terjadi. Ada perasaan was-was saat harus meninggalkan kantor, terlebih kalau menyangkut Tommy. Aku memang mengawasinya, tapi Tommy begitu licik sehingga bisa saja dia memanfaatkan ketidak hadiranku untuk melakukan sesuatu yang seharusnya tidak dilakukannya.

“Bulan depan ada rapat besar.” Mama memperingatkan.

Aku hanya mendengung singkat.

“Kamu akan dinilai habis-habisan. Apakah kinerjamu cukup baik untuk membawahi perusahaan ini?” Mama melanjutkan.

“Aku mengerti, Ma.”

Hari ini aku beruntung karena morning sickness yang biasanya membuatku tidak berdaya, kali ini tidak seberat biasanya. Namun keberuntungan itu hanya sesaat karena sekarang kehadiran Mama yang membuatku sakit kepala.

“Kalau mengerti, mengapa kamu malah santai-santai begini? Stephanie, perusahaan itu tidak bisa jalan sendiri. Perusahaan itu membutuhkan pemimpin. Kamu lihat sendiri perusahaan sempat goyah sewaktu ayahmu meninggal, dan belum stabil lagi sejak kamu pegang.” Mama bicara panjang lebar.

Jika ada yang mendengarkan, akan menganggap Mama sebagai ibu yang peduli. Namun, hal itu tidak berlaku bagiku. Aku mengerti apa yang tersimpan di balik kekhawatiran itu. Mama hanya ingin memastikan semua hartanya baik-baik saja, karena itulah dia mendesakku.

Yes, DarlingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang