Aku baru sadar tidak makan siang ketika Carlos menyodorkan makan malam ke hadapanku. Seketika perutku berbunyi heboh. Aku refleks mengerang saat rasa yang familiar menyentuh lidahku.
"Standarku soal pasta bisa tinggi setelah ini," gumamku. Piring di depanku dalam keadaan licin, tidak ada yang tersisa.
Carlos tertawa pelan. "Kamu lapar apa gimana?"
"Dua-duanya. Aku lupa makan siang."
"Fani..." tegur Carlos. Dia menggeleng, tampak begitu keberatan. "Kamu kerjanya enggak kenal waktu begitu, minimal makan yang benar."
Dia hanya memperingatknku soal pola makan. Seharusnya itu hal yang biasa. Tidak ada yang aneh dari peringaran tersebut. Namun, mengapa hatiku malah berdesir, seolah-olah dia baru saja melakukan hal besar yang bisa menghancurkan seluruh tembok pelindung hatiku?
Memperingatkan soal makan dan membawakan makan malam mungkin hal kecil. Namun di hidupku, itu hal besar. Rasanya baru sekarang ada yang memperhatikan soal makan. Bahkan orangtuaku saja tidak peduli ketika aku tidak makan seharian.
"Thank you," bisikku.
"You're welcome." Carlos membalas. Dia mencegah ketika aku bermaksud membereskan kotak makan yang sudah kosong. "Berarti besok-besok aku boleh ke sini lagi anterin makanan?"
Aku tersenyum—senyum paling tulus yang pernah hadir di wajahku. Tentu saja aku tidak keberatan. Aku harus membuang muka agar Carlos tidak melihat harapan besar di wajahku.
"Kamu masih mau di kantor?"
Pertanyaannya mengembalikanku ke realita. Aku melihat tumpukan dokumen di atas meja yang harus kupelajari malam ini juga.
"Begitulah."
"Jangan pulang malam-malam." Carlos mengacak rambutku sekilas.
Maataku mengikuti sosoknya yang bangkit berdiri. Ada rasa keberatan yang tiba-tiba muncul di hatiku saat menyadari Carlos akan pergi. Mendadak ruang kantor ini terasa sepi.
"Kamu keberatan nemenin aku dulu?" Pertanyaan itu terlontar dengan tiba-tiba.
Carlos menatapku lama, membuat waktu terasa berjalan begitu pelan saat aku menunggu jawabannya.
"Oke."
Aku tidak bisa menahan senyum ketika Carlos kembali ke sofa. Dia mengeluarkan handphone dan samar-samar aku mendengar acara kuliner yang ditontonnya. Aku berusaha untuk fokus bekerja, tapi bukan sekali dua kali aku mendapati diriku malah meliriknya.
Sepertinya ini permintaan yang salah. Pekerjaanku bisa selesai lebih lama kalau dia ada di sini. Aku mati-matian mempelajari dokumen untuk meeting besok, tapi tak ada satu pun yang masuk ke benakku.
"Hei..."
Aku terperanjat kaget. Saat mendongak, aku mendapati Carlos berdiri di seberang meja. Dia menumpukan kedua tangan di atas meja dan mencondongkan tubuhnya. Aku bisa mencium aroma parfumnya yang menenangkan.
"Aku pikir kamu lagi kerja, tahunya malah bengong."
Kalau saja dia tahu penyebab aku tidak bisa berkonsentrasi.
"Kamu sudah mau pulang?" tanyaku.
"Kamu?" Alih-alih menjawab, dia malah balik bertanya.
Aku kembali menatap dokumen di meja. Rasanya percuma tetap memaksakan diri melanjutkan bekerja. Lebih baik aku menyudahi ketimbang tetap berada di sini tapi tak ada satu pun yang bisa kuselesaikan.
"Atau kita bisa tetap di sini..."
Aku terkesiap saat merasakan Carlos berada di belakangku. Dia bergerak begitu cepat, sampai-sampai aku tidak menyadarinya. Tahu-tahu dia sudah berada d belakangku.

KAMU SEDANG MEMBACA
Yes, Darling
RomansaSetelah sepuluh tahun menikah tanpa cinta akibat dijodohkan, Stephanie memutuskan untuk bercerai. Tak ada waktu untuk masalah hati, karena posisi sebagai CEO Kawilarang Group menyita semua waktu. Untuk merayakan kebebasannya, Stephanie menghabiskan...