7. We Meet Again

9K 662 2
                                    

I always in the shadow. Menjadi anak kedua dan anak perempuan di keluargaku membuat fungsiku tak lebih dari sekadar mesin reproduksi. Sementara kakakku dididik dengan keras untuk menjadi penerus bisnis keluarga, aku dibentuk menjadi perempuan pasif yang diabaikan, dan baru dianggap berguna kerika ayahku butuh melebarkan sayap bisnis dan memperkuat relasi lewat pernikahan.

Me and my brother, we are the victim of toxic environment.

Kalau kakakku memberontak dengan cara membayar semua uang yang dikeluarkan orang tuaku untuk memenuhi kebutuhannya sejak lahir, sehingga dia bisa meraih kemerdekaan, aku berlaku sebaliknya. Aku tidak ingin hanya menjadi perempuan pasif yang tahunya hanya bereproduksi. Aku belajar lebih giat, bekerja lebih keras, untuk membuktikan aku layak menjadi pemimpin perusahaan. Sampai ayahku meninggal, dia belum percaya kepadaku. Orang tuaku masih berharap kakakku mau pulang ke rumah dan mengambil alih tampuk kekuasaan.

Perseteruan itu sempat membuat hubunganku dan Stevie merenggang. Aku menganggapnya sebagai musuh karena dia menjadi penghalang untuk mewujudkan ambisiku. Betapa selama ini perlakuan orang tuaku membuatku buta dan membenci kakakku, padahal kenyataannya hanya dia satu-satunya yang peduli padaku.

Stevie yang pertama menyambut niatku bercerai dan mendukung keputusan itu. Setelah sebelumnya dia menjual saham miliknya kepada Jihane agar suara yang mendukungku menjadi CEO semakin kuat.

Meski sudah mendapatkan poaisi tertinggi bukan berarti aku aman. Posisiku masih goyah. Kapan saja, aku bisa didepak. Sekarang saja, aku seperti dikuliti hidup-hidup. Diperhatikan sedemikian rupa dan sengaja mencari-cari kesalahan agar ada alasan menyuruhku mundur.

Papa memang sudah tidak ada, tapi rekannya masih bertahan. Selama ini mereka selalu menjilat Papa. Mereka juga lantang menolakku dan menganggap Stevie lebih layak hanya karena Stevie anak tertua sekaligus anak laki-laki. Mereka tak lebih dari sekelompok manusia kolot dengan pola pikir terbelakang.

Senin pagi selalu menjadi momok menyebalkan. Ketika rapat direksi berlangsung. Sama seperti minggu sebelumnya, semua kinerjaku dipertanyakan.

"Dari trajectory yang ada, kita tidak akan bisa achieve target di Q1." Pak Arief bersuara. Dia tangan kanan Papa. Di usianya yang sudah tua, dia merasa begitu superior karena menjadi pihak paling senior. Dia memegang jabatan Komisaris Utama, dan aku harus mempertanggungjawabkan pekerjaanku kepadanya.

Di mata Pak Arief, aku tidak kompeten. Aku tidak punya kemampuan membawa perusahaan ini agar maju. Melihatnya, tak ubahnya seperti berhadapan dengan Papa.

"Bagaimana dengan rencana pembangunan Skyland?" Tanya Pak Syahdan, salah satu komisaris, yang mengaku netral tapi jika harus memilih, dia akan memilih Papa dan Pak Arief.

Seharusnya sebagai komisaris, tugas mereka hanya mengawasi. Namun, mereka ikut campur terlalu dalam hanya karena tidak percaya padaku. Setiap keputusanku diveto tanpa alasan, membuatku jalan di tempat. Di sisi lain, mereka menunggu gebrakan nyata.

Ketika aku hadir dengan ide proyek Skyland, mereka menganggap ide itu tidak masuk akal. Skyland akan menjadi salah satu kompleks perumahan baru di daerah Serpong. Smart residential complex yang menawarkan hunian modern dengan teknologi terkini, juga fasilitas lengkap. Mega proyek yang membutuhkan dana besar, tapi aku yakin akan potensi yang didapatkan.

Sayangnya, proyek tersebut berjalan tersendat karena beberapa pihak tidak percaya kepadaku.

Aku sampai pada kesimpulan bahwa sekeras apa pun aku membuktikan diri, mereka tidak akan pernah percaya. Karena sejak awal, di benak mereka sudah tertanam bahwa seorang perempuan tidak layak jadi pemimpin.

"Semua urusan pembebasan lahan sudah selesai. Tim sudah bergerak, begitu juga dengan sponsor."

"Saya belum setuju dengan proyek ini. Risikonya terlalu tinggi." Pak Arief menyelak.

Yes, DarlingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang