54. Desperate

5.4K 688 16
                                        

Carlos

"Gimana Dita?" Max menempati kursi di sebelahku. Dia selalu datang ke rumah sakit setiap pagi, setelah pulang dari club.

Daisy hanya tinggal semalam di rumah Max. Dia terpaksa pulang ke rumah karena sekolah, dan aku dengan berat hati mengizinkannya. Aku hanya bisa memantau dari jauh, berjaga-jaga jika ayahnya kembali berulah. Dari penjelasan Daisy, Mama berubah. Setidaknya sekarang Mama mau melindunginya jika ayahnya berulah. Mungkin kejadian yang menimpa Dita membuka hati Mama dan mengingatkannya pada statusnya sebagai ibu.

"Lumayan mendingan. Paling enggak dia udah bisa diajak ngobrol."

"Dia setuju soal rehab?"

Aku mengangguk. Dita bisa berubah pikiran karena pengalaman mengajarkanku bahwa ucapan Dita tidak selamanya bisa dipercaya. Namun kali ini, aku berharap banyak kepadanya.

Rehabilitasi tak akan berhasil jika tidak ada keinginan dari dalam dirinya. Itulah yang kulakukan sekarang, membujuk Dita untuk berubah.

Ada yang berbeda darinya. Aku tidak yakin awalnya, tapi dari hari ke hari Dita menunjukkan dia ingin berubah. Ketika sakau, Dita melawannya. Dia tidak lagi meminta agar diberikan obat, dan menurut Dokter Leo, itu sebuah kemajuan.

"Tunggu beberapa hari lagi, setelah dia kuat, dia bisa keluar dari rumah sakit," sahutku.

Mungkin kejadian itu juga mengingatkan Dita bahwa hidupnya berharga. Selama ini dia sudah menyia-nyiakan hidupnya.

"Baguslah. Kenapa lo malah murung?"

Dita memang menunjukkan tanda-tanda perubahan menjadi lebih baik. Setiap kali aku membahas soal rehabilitasi, Dita tidak mengelak. Itu kemajuan yang sangat berarti.

"Biaya rehab enggak murah. Gue lagi mikir bisa dapetin duit dari mana."

Karena pergi tanpa izin, Edgar memberi peringatan. Bekerja di restoran itu tidak memungkinkan untuk izin mendadak, setiap orang sudah mempunyai jadwal masing-masing. Dia memintaku segera masuk, tapi aku tidak bisa. Sekalipun harus kehilangan pekerjaan, aku tidak peduli karena Dita lebih penting.

Sekarang aku dihadapkan pada masalah yang sebenarnya.

"Tagihan utang bajingan satu itu datang lagi. Gue enggak mau bayar, tapi itu sama aja kayak membahayakan Daisy."

Masalah uang selalu menjadi momok menakutkan. Apalagi di saat seperti sekarang, ketika aku terpojok dan tidak menemukan jalan keluar.

Saat melihat Max, aku seperti menemukan jalan keluar.

"Lo masih punya klien buat gue?" tanyaku.

"Gila lo? Katanya udah berhenti."

Aku refleks tertawa. "Gue butuh uang buat Dita."

"Jangan gila lo."

Permintaan yang sulit, karena aku benar-benar sudah gila. Jika masih ada akal sehat, aku tidak akan meminta pekerjaan kepada Max.

Rasanya seperti mengkhianati Stephanie. Aku yakin tubuhku tidak akan bisa berfungsi jika harus berhubungan dengan perempuan lain, sebab Stephanie sudah menguasaiku. Namun aku tidak bisa melakukan hal lain. Menjual tubuh menjadi satu-satunya cara agar bisa menyelamatkan Dita.

Ucapan Stephanie kembali terngiang di benakku. Ironis, karena sekarang aku malah membenarkan tuduhan tersebut. Aku kembali menjual diri, karena hanya itu yang aku bisa.

"Kenapa lo berhenti?" tanya Max.

"Because I'm falling in love."

Max menatapku seolah aku baru saja bicara dengan bahasa alien yang tidak dimengertinya.

Yes, DarlingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang