31. Ketidakadilan

4.8K 557 3
                                    

Stephanie

"Jadi, kenapa lo ngotot gue harus ikut makan di sini?" Kalau Jihane tidak memaksa, aku memilih memakan bekal dari Carlos ketimbang jauh-jauh ke restoran ini. Setelah hamil, selera makanku berubah. Tidak banyak yang bisa diterima perutku, sehingga aku mengurangi kebiasaan coba-coba makanan. My comfort food is the one Carlos made.

"Gue dan Luca mengakuisisi restoran ini dan kami mau rebranding," sahut Jihane.

"Terus, kenapa gue harus ikut?"

"Gue butuh lidah tambahan buat mengecek hasil masakan calon chef di sini," sahutnya.

Seketika aku langsung bersemangat. Aku memberitahu Carlos soal posisi di restoran ini. Carlos telah mengirim CV. Seharusnya dia diterima. Bahkan harusnya tes ini tidak perlu ada, karena begitu Jihane mencicipi masakan Carlos, dia akan memilih Carlos.

Luca datang sambil membawa sepiring spaghetti, diikuti karyawannya yang menyajikan masakan Italia lainnya di meja. Presentasi begitu penting untuk menggugah selera, dan presentasi makanan ini membuat perutku berbunyi, tidak sabar ingin mencicipinya. Mataku menyisir setiap piring di meja, mencoba menerka mana masakan Carlos.

"Just try and give me your opinion."

Luca dan Jihane menatapku lekat-lekat ketika aku menyendok makanan. Aku meluangkan waktu untuk meresapi makanan ini. Selama ini aku percaya pada lidahku, tapi sepertinya lidahku sudah terbiasa dengan masakan Carlos, sehingga setiap makanan yang kucoba tidak bisa mencapai standar. Carlos sets the bar very high.

"Too creamy. Jadinya eneg." Aku menunjuk spaghetti. Ini bukan masakan Carlos. Dia tidak akan membuat makanan yang sangat creamy.

"What about the risotto?"

Aku mengunyah risotto sementara Jihane menunggu jawabanku dengan harap-harap cemas. Seketika aku ingat risotto yang dibuat Carlos, dan risotto ini tidak ada apa-apanya dibanding bikinan Carlos.

"Too dry." Sekali lagi, aku mencoret makanan ini sebagai hasil karya Carlos.

Di makanan ketiga, Jihane menyerah ketika aku mengutarakan pendapat.

"Jujur, makanannya enak tapi ya udah, gitu aja. Enggak ada spesialnya." Aku menutup penilaianku.

Jihane bersedekap. "Asal lo tahu, semua yang lo coba ini bikinannya chef yang sudah lama malang melintang di kuliner dan juga lulusan sekolah terkenal."

"Rasa enggak pernah bohong, Han." Aku menanggapi.

Luca mencoba risotto tersebut. Keningnya berkerut ketika mengunyah makanan tersebut.

"I think it's okay."

"It's just okay, nothing special," balasku.

Jihane mengikuti Luca dan mencicipi makanan di meja satu per satu. Ekspresi wajahnya menunjukkan dia memihak Luca. Tidak ada yang salah dengan makanan ini, hanya saja rasa seperti ini bisa dengan mudah ditemukan. Jelas bukan ini yang dibutuhkan Jihane.

Jihane membutuhkan seseorang seperti Carlos.

"So, what now?" Jihane menatap Luca.

"I like him. Andika." Luca menunjuk piring risotto.

"Tapi kata Fani terlalu plain."

Perutku tidak berselera menampung makanan ini, sekalipun presentasinya bisa meneteskan air liur. Aku tidak sabar ingin balik ke kantor dan memakan bekal dari Carlos.

Sesaat aku teringat Carlos. Jadi, ketika Jihane berpamitan untuk ke toilet, aku memanfaatkan kesempatan untuk bertanya pada Luca.

"Is there someone named Carlos applied?" tanyaku.

Yes, DarlingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang