30. Making Memory

8.2K 689 5
                                        

Stephanie

"Laki-laki tadi siapa?" tanya Carlos sambil menyodorkan piring berisi carrot cake ke hadapanku. Senyumku langsung terkembang saat melihat potongan kue tersebut.

"Enggak tahu kenapa sejak tadi siang aku craving carrot cake. Thanks sudah mau anterin buatku." Aku menyendok potongan kue. Tanpa sengaja aku mengerang saat lidahku merasakan kue tersebut.

Aku tidak menyangka Carlos datang membawakan kue permintaanku. Suasana hatiku yang buruk sepanjang hari membuatku melampiaskannya kepada makanan. Aku hanya menyinggung sekilas ketika Carlos meneleponku, dan dia langsung datang dengan carrot cake.

Carlos masih menatapku tanpa berkedip, menunggu jawabanku.

"Yang tadi di lobi?" tanyaku, yang dijawab dengan anggukan singkat. "Technically, dia sepupuku. Tapi dia menganggapku musuh. Sejak kecil sudah begitu."

"Dia bekerja untukmu?"

Aku mengangguk dan mengunyah potongan kue sebelum menjawab. "Perusahaan itu milik kakekku. Sebagai anak tertua, Papa mendapat warisan lebih banyak. Om Richard juga bekerja di sana, begitu pun Tommy, anaknya."

"Jadi itu perusahaan keluarga?"

Aku kembali mengangguk. "Begitulah, namanya perusahaan keluarga, intrik internal enggak pernah habis."

"Dia mengancammu?" tanyanya.

Pertanyaan itu membuatku mengurungkan niat untuk menyuap kue. "Kenapa kamu mikir begitu?"

"Aku enggak ngerti masalahnya apa, tapi yang aku lihat kalian begitu... intens. Setelah kamu pergi, aku melihat dia menatapmu penuh permusuhan," jelasnya.

"Tommy memang begitu, tapi dia cuma mengancam padahal aslinya pengecut. Dia sudah membenciku sejak aku mengalahkannya di Olimpiade waktu SMP. Sejak saat itu, dia menganggapku musuh. Apalagi sekarang. Seharusnya perusahaan itu untuk kakakku, bukan aku," jelasku.

Carlos memancarkan aura bersahabat yang membuatku bisa dengan mudah mengeluarkan semua isi hati dan pikiranku. Setelah selama ini memendamnya sendiri, kehadiran Carlos membawa pengaruh baru di hidupku. Apa yang selama ini aku pendam, keluar dengan sendirinya. Dia memang tidak memberi solusi, tapi bukan itu yang aku butuhkan. Aku hanya butuh didengarkan tanpa penghakiman.

"Kakakku dibesarkan dengan keras. Papa enggak segan-segan main tangan. Stevie berontak dan pergi dari rumah. Dia mendirikan perusahaan sendiri dan lepas dari Papa. Waktu Papa sakit, Papa dan kolega yang lain membujuk Stevie buat kembali. But he's done with this family," jelasku.

"What about you?"

"This company should be mine." Aku menghela napas panjang. "Aku memang tidak diperlakukan dengan keras seperti Stevie. Parahnya, aku tidak pernah dianggap. Keluargaku sangat patriarki, jadi enggak pernah kepikiran anak perempuan bisa jadi pemimpin."

"Akhirnya, kamu yang jadi pemimpin."

Sebaris tawa kering meluncur dari bibirku. "Enggak ada pilihan lain. Stevie enggak mau balik, dan Papa enggak mau perusahaan jatuh ke tangan Om Richard dan Tommy. Dia enggak punya pilihan selain aku."

Carlos mengusap wajahnya. "Sekarang aku paham mengapa kamu merasa posisimu bisa dijegal kapan saja. Damn it, Fan. How did you do it?"

Aku menggeleng. "Setelah seumur hidup diperlakukan tidak adil, aku hanya mempertahankan yang seharusnya aku miliki."

"Do you really want it?"

Pertanyaan itu menggantung begitu saja karena aku tidak punya jawaban. Aku bahkan tidak pernah bertanya kepada diriku sendiri, apakah yang sebenarnya aku inginkan?

Yes, DarlingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang