Jihane orang pertama setelah Carlos yang tahu soal kehamilanku. Aku tidak pernah berniat untuk mempublikasikan kehamilan ini. Apa gunanya? Cukup aku dan Carlos yang tahu, selebihnya tidak punya kepentingan untuk mengurus hidupku.
Namun, aku tidak bisa menghindari Jihane. Meski aku yakin bisa menghadapi hal ini sendiri, jauh di dalam hati aku membutuhkan dukungan.
Aku membutuhkan Jihane.
Jihane kembali mendapatiku muntah hebat pagi ini. Sama seperti hari-hari sebelumnya, dia menyuruhku ke rumah sakit. Aku tidak bisa mengelak, dan melakukan satu-satunya hal yang seharusnya kulakukan.
“Gue enggak sakit. Gue hamil.”
“What?”
Aku memegang pinggiran wastafel untuk menopang tubuhku agar tidak melorot ke lantai saat menghadap Jihane. Dia menatapku dengan mata terbelalak.
“Gue tahu lo punya banyak pertanyaan, tapi gue buru-buru harus ke kantor.”
Jihane berdiri di pintu kamar mandi, memerangkapku sehingga tidak bisa keluar. Wajahnya menatapku dengan penuh tanda tanya.
“Kenapa lo bisa hamil?” tanyanya.
“Gue sudah 35, Han. Gue ngerti proses pembuahan.” Aku berusaha bercanda, tapi Jihane tidak terpengaruh.
“Who’s the father?”
Aku tidak tahu apa yang menghalangiku untuk memberitahu Jihane siapa ayah dari anak di kandunganku. Aku bisa saja menyebut nama Carlos, tapi lidahku mendadak kelu. Selama ini aku selalu berbagi apa pun dengannya, kini aku ingin menyimpan fakta ini sendiri.
“You don’t have to know.”
“But…”
“Han, ini anak gue. Gue mutusin untuk pertahanin dia, oke? Lo sendiri yang bilang kalau gue sebaiknya mempertimbangkan untuk jadi Ibu. Now, here I am.” Aku menunjuk perutku.
“Tapi…”
“Gue dan ayah anak ini sudah sepakat untuk membesarkan dia bareng-bareng. Sebelum lo bertanya, gue enggak akan nikahin dia,” potongku.
“Kenapa?”
“Sudah cukup gue buang-buang waktu sepuluh tahun ini dengan menikahi orang yang enggak gue cintai.”
Jihane masih belum ingin melepaskanku. Raut wajahnya menyiratkan banyak pertanyaan yang siap dilontarkan. Namun, aku tidak punya waktu lagi. Dengan berat hati, Jihane beranjak dari pintu sehingga ada celah untukku melewatinya.
“Lo berutang penjelasan sama gue,” ujarnya. Aku mengangguk sekilas. “Gue yakin someday lo bakal cerita, termasuk soal laki-laki misterius ini.”
Aku tidak menggubris penuturan Jihane. Malah menyibukkan diri dengan bersiap menuju kantor. Jauh di dalam hati, aku tidak meragukan ucapan Jihane. Suatu hari nanti, ketika aku merasa ini semua membuatku kewalahan, Jihane akan menerimaku dengan tangan terbuka.
***
Seminggu berlalu dan tidak ada tanda-tanda morning sickness ini akan berakhir. Aku sudah membekali diri dengan informasi soal trimester pertama, tetap saja hal tersebut tidak sebanding dengan yang aku rasakan.
Aku bertanya-tanya, apakah Mama juga mengalami hal yang sama sewaktu mengandungku dan Stevie dulu? Jika perjuangannya seberat yang kurasakan, mengapa Mama malah tidak bisa menyayangi buah hatinya sendiri? Seharusnya perjuangan selama kehamilan membangkitkan ikatan antara ibu dan anak, tapi yang terjadi padaku malah sebaliknya.
“Fani?”
Aku memaksakan diri menoleh ke balik pundak dan mendapati Carlos di pintu kamar mandi. Aku tidak tahu dia akan datang pagi ini. Semenjak minggu lalu, dia hanya menghubungiku lewat telepon untuk menanyakan kebutuhanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yes, Darling
RomanceSetelah sepuluh tahun menikah tanpa cinta akibat dijodohkan, Stephanie memutuskan untuk bercerai. Tak ada waktu untuk masalah hati, karena posisi sebagai CEO Kawilarang Group menyita semua waktu. Untuk merayakan kebebasannya, Stephanie menghabiskan...