38. Big Questions

5.8K 741 17
                                        

Stephanie

Pintu ruang kerjaku terbuka dan Jihane menghambur dengan mata terbelalak. "Who's the hottie out there?" tanyanya sambil menunjuk ke balik punggung.

Tidak ada siapa-siapa di belakangnya, tapi aku mengerti siapa yang dia maksud. Carlos, karena pria itu berada di dapurku. Jihane pasti melihatnya ketika datang.

"Who?" Namun aku berlagak tidak tahu.

Jihane mendecakkan lidah. "Lo tahu siapa yang gue maksud." Dengan santai Jihane menutup laptopku, dia sama sekali tidak mengindahkan protesku.

Memasuki bulan kesembilan, aku semakin malas ke kantor sehingga lebih sering bekerja di rumah. Jadi aku bisa curi-curi waktu untuk tidur siang. Kalau Mama tahu, aku pasti dicap mengecewakan dan tidak bertanggung jawab. Padahal bekerja dari rumah berarti jam kerjaku jadi lebih banyak dan tidak teratur.

"Ada laki-laki di dapur lo. Asli, gue kaget waktu mergokin dia lagi masak. Untung ganteng, kalau enggak udah gue teriakin maling," cerocos Jihane.

"Kalau ganteng, otomatis dia bukan maling?"

Jihane mendengkus. "Lo ngertilah maksud gue. Jadi enggak usah berbelit-belit, dia siapa?"

Aku sengaja mengulur waktu untuk mengusik Jihane. Dia punya kesabaran tipis, apalagi menyangkut hal yang membuatnya penasaran. Sudah lama Jihane ingin tahu siapa pria yang menghamiliku. Jujur saja, aku salut atas kesabaran Jihane, karena ini bukan hal yang mudah untuknya.

Aku sempat khawatir tanggapan Jihane ketika bertemu Carlos. Apa Jihane akan mengenali Carlos sebagai stripper yang berada di club waktu itu?

Namun ini Jihane. Aku sangat mengenalnya sehingga yakin Jihane tidak akan menghakimi. Dia mungkin akan mengenali Carlos dan bertanya-tanya, tapi hanya sebatas itu.

"Menurut lo siapa?" Aku balik bertanya.

Jihane menatapku dengan senyum dikulum. "Sekarang gue paham kenapa lo sampai hamil," tukasnya.

Aku sudah membuka mulut, tapi jihane mendahului.

"Look at his body. Muscle everywhere. Plus, mukanya bisa bikin semua cewek lepasin celana saat ini juga." Jihane mengipas wajahnya.

Aku refleks tertawa saat mendengar ucapannya.

"Pantas aja lo yang hatinya batu begitu bisa meleleh di depan dia."

"Siapa juga yang punya hati batu?" Aku berkilah.

Jihane menunjukku dengan telunjuknya. "Stephanie Maria Kawilarang, gue sudah kenal lo sejak kita sama-sama pakai popok. Gue paham banget betapa pemilihnya lo soal laki-laki. Kalau dia biasa-biasa aja, lo enggak bakalan luluh. Gue yakin bukan cuma muka dan badannya yang bikin lo klepek-klepek."

Tudingan Jihane tepat sasaran. Memang hubungan ini diawali oleh ketertarikan fisik, tapi semakin aku mengenal Carlos, semakin aku menyadari dia lebih dari sekadar pria seksi berwajah tampan. Kebaikan hatinya menyentuhku. Juga perjuangannya yang tak henti bekerja keras.

"Dia... memberikan sesuatu yang enggak pernah gue dapat dari pria mana pun." Aku berkata jujur.

Jihane menatapku dengan sebelah alis terangkat, menunggu penjelasanku.

"Dia membuat gue lupa kalau gue ini Stephanie Kawilarang, anak yang enggak pernah diharapkan tapi maksain diri buat masuk ke dunia patriarki di perusahaan karena ingin buktiin diri. Dia bikin gue menjadi... just plain Fani." Aku menatap pintu yang terbuka. Tidak ada Carlos di sana, tapi aku bisa merasakan kehadirannya.

"Do you love him?"

Pertanyaan itu begitu sulit dijawab. Tidak semua orang bisa dengan lantang mengutarakan apa yang dirasakan. Aku salah satunya. Karena tidak tahu apa yang aku rasakan. Aku memang menikmati waktu bersama Carlos. Dia membuatku jatuh simpati kepadanya. Simpati yang lama-lama berkembang menjadi kagum. Aku menyukainya, tapi untuk cinta?

Yes, DarlingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang