46. Ancaman Nyata

5.1K 633 22
                                        

Stephanie

Alba kembali menangis karena tidak bisa menyusu. Aku tidak mengerti, kenapa ASI jadi bermasalah? Selama ini tidak pernah ada masalah, ASI-ku lancar. Alba bisa menyusu dengan lahap. Namun beberapa waktu belakangan, ASI-ku tiba-tiba berulah. Aku sangat bersalah karena Alba yang harus menanggung akibatnya.

Mega, sekretarisku, masih menunggu jawabanku di telepon. Aku tengah berbicara dengannya ketika Alba menangis.

"Masih ada stok ASI. Sementara kasih ini dulu." Carlos menyerahkan botol ASI yang sudah dipanaskan.

Ada perasaan tidak rela. Setiap hari, di antara tuntutan pekerjaan yang tak ada habisnya, aku selalu menunggu saat menyusui Alba. Karena itulah momen yang kutunggu-tunggu, momen ketika hanya ada aku dan Alba tanpa perlu khawatir atas gangguan apa pun. Aku tidak akan menukarnya denga napa pun.

"Fani, Alba kelaparan." Carlos memperingatkan.

Aku masih keberatan, tapi aku tidak boleh egois.

"Ini kan juga ASI kamu," ujar Carlos lagi.

Aku begitu konyol. Bisa-bisanya aku berpikir sangat egois seperti ini?

Tanpa menunggu balasanku, Carlos menyerahkan botol susu kepada Alba. Dia langsung melahapnya, membuatku semakin dicekik perasaan bersalah.

"Aku bisa gendong Alba sementara kamu kerja," ujarnya.

Tidak, aku tidak rela menyerahkan Alba, bahkan kepada ayahnya sendiri.

Setidaknya Alba sudah berhenti menangis. Aku kembali melanjutkan percakapan dengan Mega sambil menggendong Alba. Tanpa sengaja, aku menoleh ke arah Carlos. Dia menatapku tajam dengan kerutan dalam di keningnya.

Dia tidak setuju dengan keputusanku. Beberapa hari lalu, Carlos mengutarakannya. Aku sadar jawabanku sudah kelewatan, tapi aku tidak ingin Carlos menambah beban pikiranku. Sudah cukup aku merasa bersalah karena membagi pikiran pada hal lain, aku tidak butuh orang lain mengutarakan kesalahanku.

Aku berharap Alba bisa mengerti.

Carlos terus berdiri di sampingku sampai aku selesai berbicara dengan Mega.

Alba sudah selesai menyusu, tapi ketika aku membaringkannya, dia kembali menangis. Dia baru diam setelah aku kembali menggendongnya. Carlos menawarkan diri untuk menggendong Alba, tapi aku menolaknya. Masih jelas di ingatan ketika aku cemburu kepada Carlos karena merasa Alba lebih memilihnya. Aku begitu konyol, dan siang ini aku kembali bertingkah konyol dengan memonopoli Alba.

"Aku masak makan siang dulu. Sebentar lagi, Alba pasti tidur. Kalau kamu ada waktu, kamu bisa tidur siang," ujarnya.

Mataku mengikuti punggungnya yang menjauh. Seolah ada yang meremas hatiku, rasanya begitu sakit. Aku telah menyakiti Carls, tapi aku tidak berani mengakui kesalahan. Rasanya seperti mendorongnya menjauh dari hidupku.

Perutku seperti ditumbuk karena rasa sakit yang tak tertahankan. Aku tidak ingin Carlos menjauhiku, tapi aku juga tidak tahu apa yang sebenarnya aku rasakan.

***

Alba memutuskan untuk tidak tidur siang. Dia kembali menangis dan baru diam setelah berada di gendonganku. Aku terpaksa mematikan kamera saat meeting. Penampilanku sangat kacau. Aku bahkan belum sempat mandi dari pagi. Aku tidak inign semua rekan melihatku seperti ini. Meeting dalam keadaan off camera memang tidak profesional, tapi memimpin meeting dalam keadaan lusuh dan berantakan juga tidak profesional.

Tommy kembali berulah. Di belakangku, dia menemui kontraktor yang dulu dipercaya untuk membangun Highland. Tommy berkilah itu hanya pertemuan biasa untuk membahas proyek lain, tapi Darius memergoki Tommy membawa berkas penting terkait Highland.

Yes, DarlingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang