Carlos
Jakarta tidak lebih baik dibanding Bali. Baru saja sampai di kota ini, aku dihadapkan pada kekecewaan bahwa posisi asisten chef yang dijanjikan, tidak berhasil kudapatkan. Entah utang budi apa yang dimiliki Edgar sehingga berjanji pada Pierre, tapi akhirnya dia lebih memilih seseorang dengan background pendidikan mentereng untuk bekerja di restorannya.
Aku kembali menjadi pelayan. Dengan begitu, aku tetap berada di restoran sekaligus mencari celah agar bisa mencapai apa yang kuimpikan.
Being a boss in my own kitchen.
Dunia kuliner itu kejam, aku saja yang naif sehingga membutakan mata akan fakta yang ada. Tidak ada tempat untuk orang sepertiku—tanpa modal yang cukup. Termasuk modal koneksi. Setidaknya, dengan bekerja di restoran, aku bisa menciptakan koneksi.
Edgar memiliki beberapa restoran, aku bekerja di Mr. Voz yang terletak di salah satu gedung perkantoran di daerah SCBD. Daerah elit yang terlihat serius, sangat berbeda dengan Seminyak. Tidak semua orang ditakdirkan untuk tinggal di kota besar, jika bisa memilih aku ingin tetap tinggal di Seminyak. Terlebih, aku tidak perlu berjauhan dengan Daisy. Aku merindukan Daisy, satu-satunya tujuan hidupku di dunia.
Hari ini aku mendapat shift kedua. Di luar hujan ketika aku datang ke restoran ini. Masih ada beberapa menit sebelum jam kerjaku dimulai, dan aku manfaatkan untuk mengecek pesan yang menumpuk di handphone.
Aku langsung menyesal sudah membacanya, karena diingatkan pada tanggal jatuh tempo utang.
“What the…” Kenapa jumlahnya bertambah? Aku banting tulang, bahkan rela bekerja di area abu-abu untuk melunasi utang keluarga. Bukannya berkurang, mengapa jumlahnya terus bertambah?
Laki-laki tidak tahu diri yang dinikahi ibuku adalah sumber masalah. Aku bisa saja mengabaikannya, toh aku pernah melakukannya. Namun, tidak membayar utang sama saja dengan mengizinkan manusia berengsek satu itu menganiaya Ibu dan Daisy. Aku tidak bisa tenang jika dia melayangkan tangannya ke Daisy. Dia sudah merenggut salah satu kaki Daisy.
Mataku terbelalak saat melihat pesan Dita. Tidak biasa-biasanya dia mengirim pesan. Adikku itu seperti hilang ditelan bumi setelah berkenalan dengan obat terlarang. Dia memilih jalan terlarang untuk melupakan kepahitan hidup.
Dita: Bli, I need money. I’ll pay you, I promise. Please help me, don’t let me dying here.
Kepalaku mendadak sakit saat membaca pesan Dita. Aku tahu, tidak seharusnya aku mengirimkan uang kepada Dita. Uang itu hanya akan dipakai untuk membeli obat-obatan. Sama saja dengan menjerumuskan Dita semakin dalam.
Carlos: Bagaimana dengan rehab yang sempat kita bahas?
Alih-alih membalas pesannya, aku mengingatkannya pada janji rehab yang sempat disetujuinya.
Dita: Fuck you.
Balasan Dita masuk tak lama kemudian.
Aku menyayangi Dita. Bukan salahnya jika dia terjerumus ke dalam narkoba. Sebagai kakak, aku gagal melindungi adikku.
Begitu jam kerjaku dimulai, untuk sementara aku melupakan semuanya. Aku menyimpan handphone ke dalam loker, bertepatan dengan masuknya pesan dari Max.
Max: My client list yang basisnya di Jakarta. Mereka rela bayar mahal. Lo mesti kasih komisi karena rekomendasi gue. Just thank me later.
Tiga minggu tinggal di Jakarta, Max terus mengirimkan pesan yang sama.
Carlos: Told you, Man. I quit.
Max: Utang lo sudah lunas?
Carlos: Gimana mau lunas, si berengsek masih ngutang terus buat judi

KAMU SEDANG MEMBACA
Yes, Darling
Roman d'amourSetelah sepuluh tahun menikah tanpa cinta akibat dijodohkan, Stephanie memutuskan untuk bercerai. Tak ada waktu untuk masalah hati, karena posisi sebagai CEO Kawilarang Group menyita semua waktu. Untuk merayakan kebebasannya, Stephanie menghabiskan...