19. Fact Check

10.1K 611 24
                                        

Sudah tiga hari aku terkapar di tempat tidur. Setelah selama ini memforsir tenaga untuk bekerja nonstop, akhirnya tubuhku menyerah. Akumulasi capek, cuaca yang tidak jelas, serta virus yang menyerang membuatku terpaksa mengalah pada sakit.

Aku tidak suka sakit, baik saat keci, terlebih sekarang. Waktu sekolah, aku memaksakan diri untuk masuk agar tidak ketinggalan pelajaran. Pun sekarang. Ketidakhadiranku bisa jadi alasan untuk mendepakku.

Jadi, meski tubuhku memberontak, aku tetap bekerja meski dari rumah.

Hari ketiga, aku merasa mulai membaik. Serangan sakit dan mual hanya datang di pagi hari. Selama tiga hari ini pula aku muntah-muntah hebat, sampai-sampai tidak ada lagi yang keluar selain air. Akibatnya, tubuhku semakin lemah.

"Kalau enggak mau ke dokter, ya enggak usah kerja juga." Jihane berkacak pinggang di depanku.

Beberapa jam yang lalu, Jihane meneleponku untuk mengajak makan siang. Dia langsung menyadari ada yang salah dengan diriku ketika suaraku terdengar serak. Aku sudah melarang, tapi Jihane tetap bersikeras datang ke rumah. Dia hampir saja menyeretku ke rumah sakit, tapi aku memutuskan untuk online meeting dengan tim business development.

"Ada meeting penting, gue enggak bisa ninggalin gitu aja." Aku beralasan.

Bukan kali ini saja Jihane menghadapiku dalam keadaan sakit. Meski aku berolahraga rutin untuk meningkatkan daya tahan tubuh, sesekali tubuhku menyerah pada keadaan. Bagi Jihane, pusing sedikit saja langsung ke rumah sakit. Sedangkan menurutku, selagi masih bisa ditahan, untuk apa ke rumah sakit? Waktu yang dipakai mengantre di rumah sakit lebih baik dipakai untuk bekerja.

"Udah makan?"

Aku mengangkat pundak. "Nanti, deh. Enggak selera."

"Mana ada dalam sejarah lo enggak selera makan?" Suara Jihane meninggi.

Ini juga perubahan yang terjadi. Tidak biasa-biasanya aku malas makan. Bahkan dalam keadaan mendesak sekalipun, aku selalu berselera makan.

"Gue bawain makanan. Lo makan sekarang." tegas Jihane.

"Han, gue..."

"Fani, lo makan sekarang." Jihane bahkan menutup paksa laptop, sehingga aku tidak bisa berbuat apa-apa. "Kerjaan lo enggak bakal ke mana-mana. Itu kantor bakalan tetap ada kalaupun lo enggak masuk sehari."

Jihane benar, tapi aku tidak punya kemewahan bahkan untuk sekadar beristirahat.

"I feel better."

"Your face says otherwise," bantahnya. "Lo mau makan sendiri atau gue yang suapin?"

"Iya, gue makan."

Aku mengikuti Jihane ke ruang makan. Rumah ini begitu sepi. Aku tinggal sendiri di rumah utama, sedangkan Mbak Irma dan keluarganya tinggal di paviliun belakang. Bahkan saat masih menikah dengan Erick pun, rumah ini selalu sepi.

Namun, sepi sudah menyatu dengan diriku. Sebelum tinggal di rumah ini, dan masih tinggal bersama orangtua, aku tetap kesepian. Kalau tidak ada Jihane, aku sudah gila karena tidak ada seorang pun yang bisa diajak mengobrol. Mama sering mengadakan pesta dan mengundang hingga ratusan orang ke rumah, dan tetap saja aku merasa kesepian.

"Han, apa gue adopsi anjing atau kucing aja ya?"

Jihane menatapku dengan kening berkerut. "Kok random?"

Aku menunjuk ke sekeliling. "Gue sendirian. Sepi banget."

"Gue bisa temenin beberapa hari," usulnya.

Jihane memang sering menginap di sini, tapi hanya sementara. Dia punya kehidupan lain yang tidak berhubungan denganku.

Yes, DarlingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang