45. Cemburu yang Salah

6.3K 738 23
                                        

Carlos

Aku langsung terbangun begitu mendengar tangisan Alba, tapi Stephanie mendahuluiku. Dia segera bangun dan membenahi letak gaun tidurnya sambil menuju ke arah box bayi tempat Alba berada. Baru satu jam yang lalu Alba terbangun, entah apa yang membuatnya kembali menangis.

Beberapa hari belakangan Alba sering bangun tengah malam. Akibatnya aku dan Stephanie kurang tidur. Berdua saja sudah kewalahan, aku tidak bisa membayangkan Stephanie melakukannya sendiri.

"Aku enggak tahu apa lagi yang bikin Alba enggak bisa tidur," keluh Stephanie.

Popoknya kering, jadi tidak perlu diganti. Dia baru saja menyusu beberapa jam yang lalu, enggak mungkin lapar lagi. Apa karena gerah? Tapi AC kamar sudah dingin.

"Coba aku gendong." Aku mengambil Alba dari Stephanie dan membawanya ke kamar bayi.

Biasanya Alba bisa tenang kalau dibawa jalan-jalan. Aku tidak mungkin jalan-jalan di kamar Stephanie sekalipun kamar itu lebih luas. Stephanie butuh istirahat, dan aku mondar mandir di sana hanya membuatnya tidak bisa tidur.

Sambil menyanyikan lagu, aku mengayun Alba pelan di pelukanku. Tangisnya masih ada, tapi sedikit mereda. Di usianya, Alba hanya bisa menangis. Sebagai orangtua, bukan hal yang mudah untuk mengerti apa yang diinginkannya.

Aku berusaha keras menahan kantuk. Hari ini aku bekerja dua shift agar besok bisa libur. Stephanie memberi tahu dia harus menghadiri meeting sepanjang hari, sehingga aku putuskan mengambil jatah libur agar bisa menjaga Alba.

Ketika tangisnya mulai reda, aku beranjak keluar dari kamar bayi, membawanya kembali ke kamar Stephanie. Stephanie bersikeras agar Alba tidur di kamar yang sama dengannya.

Biasanya aku akan pulang, tidak peduli selarut apa pun. Aku tidak ingin Stephanie menganggapku memanfaatkannya karena menginap di rumahnya. Beberapa hari terakhir, aku putuskan untuk menginap karena tidak mungkin meninggalkan Stephanie sendiri sementara Alba rewel begini.

Perlahan, aku meletakkan Alba ke dalam box. Aku menahan napas dan mematung, menunggu reaksinya. Beruntung Alba tidak protes ketika dia berada di dalam box.

"Kamu belum tidur?" tanyaku karena mendapati Stephanie duduk terpekur di pinggir tempat tidur.

Stephanie tidak menjawab. Tubuhnya yang kaku membuatku waspada.

Setelah melahirkan, perubahan mood Stephanie tidak bisa diterka. Selain Alba, penyebab lainnya karena stres di kantor. Sejujurnya aku tidak setuju Stephanie langsung bekerja, sekalipun dari rumah. Dia butuh waktu untuk adaptasi dengan peran baru sebagai Ibu. Dia memang hebat, tapi sehebat apa pun, setiap perempuan butuh waktu.

Namun aku tidak punya kuasa apa-apa untuk menyarakan kegundahanku. Jadi yang bisa kulakukan hanya mengawasi dari jauh, memastikan Stephanie dan Alba baik-baik saja.

Aku menyentuh pundaknya, dan seketika Stephanie berjengit.

"Kamu kenapa?"

Stephanie mengangkat wajah dan menatapku datar. "Kenapa Alba lebih memilih kamu? Aku ibunya."

Ucapan Stephanie menusuk. Aku tidak mengerti apa yang menimbulkan pertanyaan itu.

"Kenapa kamu mikir begitu?" tanyaku.

"Buktinya dia lebih mau sama kamu."

"Fani, Alba enggak milih siapa-siapa."

Stephanie mendengkus. "Seharusnya dia memilihku. Aku ibunya. Aku yang mengandung dan melahirkan dia."

Ada nada cemburu di balik ucapannya. Apa Stephanie cemburu kepadaku? Tidak seharusnya dia cemburu, tidak ada yang pantas dicemburui.

Aku meraih Stephanie ke dalam pelukanku. Akumulasi lelah membuatnya tidak bisa berpikir jernih. Aku yakin itu alasannya.

Yes, DarlingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang