Stephanie
"Kamu nyetir sendiri?" tanya Carlos.
Aku mengangguk sambil mencari kunci mobil di dalam tas.
"Biar aku yang nyetir." Ada nada tegas di balik ucapannya, sehingga aku memberikan kunci mobil tanpa perlawanan.
Carlos membukakan pintu mobil. Dia mendahuluiku dan memasangkan seatbelt untukku. Dia membungkuk dengan setengah tubuhnya berada di dalam mobil, dengan jarak yang sangat dekat. Aroma tubuhnya menggelitik hidungku. Aku harus mencengkeram seatbelt erat-erat agar tidak menarik wajahnya dan melumat bibirnya.
Sepertinya dia masih ingin menyiksaku. Bukannya beranjak, Carlos malah bergeming. Wajahnya sangat dekat denganku, sampai-sampai aku bisa merasakan embusan napasnya.
"Aku bisa memakai seatbelt sendiri," ujarku, sekadar mengalihkan debaran hebat di dada.
Carlos tersenyum. "Aku tahu, tapi dengan begini aku bisa dekat-dekat kamu."
Untung saat ini berada di basement sehingga keadaan cukup gelap dan bisa menyembunyikan wajahku yang bersemu merah. Aku langsung mengembuskan napas lega saat Carlos beranjak. Dia menutup pintu lalu memutari mobil untuk masuk ke jok pengemudi, dan tak sedikit pun aku mengalihkan perhatian darinya. Berdekatan dengannya memang menyiksa, karena aku harus mengendalikan hasrat yang menggebu, tapi aku juga tidak suka saat harus berjauhan dengannya.
"Kalau sopirmu enggak bisa anterin, panggil aku aja. Biar aku yang anter, dari pada menyetir sendiri."
"Aku bisa menyetir sendiri, lagian kamu bukan sopirku."
Carlos melirikku sambil tersenyum tipis. "Fani, aku enggak tenang kalau kamu menyetir sendiri, apalagi kamu suka pulang malam. Please, call me. Okay?"
Aku sudah membuka mulut untuk membantah, tapi mengurungkan niat saat melihat ketulusan di matanya. Hatiku berdesir saat melihatnya. Selama ini aku mengemis perhatian kepada semua orang, tapi tidak pernah mendapatkannya.
Sekarang ada Carlos yang memberikan perhatian tanpa diminta.
Seharusnya aku membentengi diri. Dia melakukannya karena aku mengandung anaknya, bukan karena alasan lain. Tidak seharusnya aku membiarkan dia membelai hatiku lewat setiap perhatiannya.
"Jadi, nanti ngapain aja? Aku belum pernah USG." Carlos terdengar bersemangat.
"Kontrol bulanan dan USG kedua. Kalau dari informasi sih, di usia ini bayinya sudah mulai terbentuk."
Carlos tidak menyembunyikan senyumnya. Wajahnya yang semringah dan berbinar bahagia terus menemaniku sampai berada di ruang tunggu.
Kali pertama berada di ruang tunggu, aku merasa terasing. Sekelilingku dipenuhi ibu hamil yang ditemani oleh suami. Tidak jarang ada keluarga lain yang menemani. Sedangkan aku sendiri. Aku sempat berharap Mama melunak dan menyadari dia menyayangiku, sehingga aku tidak perlu sendiri.
Sekarang, aku tidak sendiri. Di sampingku, Carlos bergerak gelisah di duduknya. Kakinya bergerak cepat, sementara dia tidak bisa tenang.
Aku menggenggam tangannya. Carlos menatap genggaman tanganku sebelum mengangkat wajah dan bersitatap denganku.
"Aku gugup."
"Waktu pertama kali, aku juga gugup," timpalku.
"Kamu pasti ketakutan waktu itu. Kamu sendirian?" tanyanya.
Aku mengangguk pelan. "Aku baru benar-benar merasa sendiri sewaktu berada di ruang tunggu ini. Lihat sekelilingmu."
Carlos mengikuti arah pandangku. Wajahnya yang semringah, berubah sendu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yes, Darling
RomansaSetelah sepuluh tahun menikah tanpa cinta akibat dijodohkan, Stephanie memutuskan untuk bercerai. Tak ada waktu untuk masalah hati, karena posisi sebagai CEO Kawilarang Group menyita semua waktu. Untuk merayakan kebebasannya, Stephanie menghabiskan...