49. Tuduhan Kebencian

5.6K 674 17
                                        

Stephanie

Sudah lama sejak kali terakhir vertigoku kambuh. Rapat kemarin dan Tommy yang berulah membuatku diserang vertigo. Aku hampir saja jatuh kalau tidak berpegangan ke ujung meja.

Pagi ini, tubuhku masih lemah. Aku memutuskan bekerja dari rumah karena untuk berdiri saja membuatku kesulitan.

Suara berisik membuatku terbangun. Masih pagi, siapa yang bertamu sepagi ini?

Pintu kamarku tiba-tiba terbuka. Aku bangkit duduk dan berhadapan dengan Mama yang menyeruak masuk. Wajahnya memerah dengan napas memburu, tatapannya menghunjamku dengan sengit.

Aku tidak dalam keadaan sehat untuk menghadapi amukan Mama.

"Apa yang sudah kamu lakukan?" Hardik Mama.

Aku memijat kening untuk meredakan dentum di kepalaku. "Maksud Mama apa?"

"Mama sudah memperingatkanmu untuk tidak lengah, tapi yang Mama dengar selalu hal buruk soal kamu," ketus Mama.

Kapan Mama mau mendengar hal baik dariku? Di mata Mama aku selalu salah. Semua yang kulakukan tidak pernah benar di matanya.

"Mama sarapan bareng Sarah. Dia memberitahu sebentar lagi akan diadakan rapat utama pemegang saham."

"Masalahnya apa?" tanyaku. RUPS merupakan agenda wajib di perusahaan, jadi tidak ada yang salah dengan hal itu. Meski untuk tahun ini belum dijadwalkan kapan rapat itu akan berlangsung.

"Richard meminta rapat itu dimajukan. Alasannya karena perusahaan dalam keadaan kritis. Dia mengajukan mosi untuk menyidang kamu." Mama mendekat kepadaku. Dengan aku berada di tempat tidur dan Mama berdiri di samping, Mama terlihat begitu menjulang. Mungkin tujuannya untuk membuatku terintimidasi sehingga aku mengakui kesalahanku.

Tidak ada kesalahan yang kuperbuat.

Namun bagi Mama, aku telah melakukan kesalahan besar. Pertama, karena aku merebut posisi CEO dari Stevie, anak kesayangannya. Kedua, dan ini asumsiku, Mama menyalahkanku karena aku berani melakukan hal yang pernah menjadi keinginannya dulu.

Sama sepertiku, Mama juga dijodohkan. Mama dan Papa tidak pernah mencintai, pernikahan itu ada demi perjanjian bisnis. Sayangnya Mama mendapatkan suami dingin yang tidak punya perasaan. Mungkin Mama pernah berpikir untuk keluar dari pernikahan itu, tapi tidak bisa melakukannya. Sebagai gantinya, Mama membenci semua hal yang lahir karena pernikahan itu, termasuk aku.

Mama tidak menyetujui perceraianku, karena bukan sekali dua kali Mama ingin bercerai. Aku ingat Mama pernah pergi dari rumah. Namun Mama tidak ingin kehilangan sumber hidup mewahnya, sehingga membutakan hati dan melanjutkan pernikahan tersebut.

Mama anak pertama, tapi karena Mama perempuan, kakek menyerahkan puncak pimpinan di perusahaannya kepada Om Daniel, adik Mama, karena menurut kakek, Mama tidak mampu memimpin perusahaan. Peran Mama hanya untuk menikah dengan laki-laki pilihannya sehingga bisa memperkuat bisnis keluarga.

Patriarki yang toksik mendarah daging di keluargaku.

Aku ingin memutusnya.

"Salah satu agenda itu untuk melengserkanmu."

"Ma, jika mereka melihat data, enggak ada alasan untuk menyingkirkanku. Perusahaan ini bergerak ke tren positif. Kenapa enggak ada yang melihat itu? Data sudah bicara, Ma," balasku.

Mama melemparkan kedua tangannya ke udara. Dia menggeram frustrasi. "Persetan dengan data, Stephanie. Mereka enggak akan peduli, karena Richard dan Tommy sudah memberitahu semua pemegang saham soal kegagalanmu."

"Mereka bukan orang bodoh, Ma."

"Tapi mereka oportunis. Kamu paham itu." Mama menyelak.

"Aku enggak khawatir."

Yes, DarlingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang