27. Jealousy, Jealousy

6.6K 672 18
                                    

Kehamilanku tidak bisa disembunyikan lagi. Baby memberitahukan soal kehamilan ini kepada siapa pun. Aku tidak peduli pada tatapan penuh tanda tanya, juga bisik-bisik yang mengiringi. Jika ada yang bertanya, aku akan menjawab dengan jujur, tapi tidak berkewajiban memberikan penjelasan lebih lanjut.

Jihane banyak membantu. Sulit baginya untuk menahan diri agar tidak mendesakku dan memberitahu siapa ayah anak ini.

“Gue download apps ini, jadi bisa memonitor janin lo sudah sebesar apa. Katanya, di usia enam belas minggu, janin lo sebesar alpukat.”

Aku menatap Jihane sambil menahan senyum. “Really?”

Jihane mengangguk antusias. “Katanya, di usia ini kulitnya mulai menebal. Terus katanya juga, matanya sudah bisa bergerak.”

Menghabiskan waktu di akhir pekan bersama Jihane membuat perasaanku jadi ringan. Tidak biasa-biasanya Jihane berada di rumah di akhir pekan. Jihane si social butterfly punya segudang aktivitas untuk mengisi akhir pekan.

Seharusnya Carlos datang, tapi dia berada di Bali untuk menemui adiknya. Baru satu hari tidak bertemu dengannya, mengapa aku tidak bisa berhenti memikirkannya?

“Kapan lo mau cek ke dokter lagi?” tanya Jihane. Semalam dia datang ke rumahku dan menginap. Tanpa Carlos, aku kesepian, dan kehadiran Jihane berhasil mengusir sepi.

“Lusa. Gue izin pulang cepat.”

“Mau gue temenin? Lo sekalian USG, kan?” tanya Jihane lagi.

Carlos berjanji akan menemani. Dia bahkan sudah tidak sabar untuk melihat hasil USG. Jadi, dengan berat hati aku menolak permintaan Jihane.

“Are you okay? Maksud gue, dokter yang sekarang oke, kan?”

Aku tidak mempersiapkan kehamilan ini sehingga tidak melakukan riset mendalam terkait dokter kandungan. Aku datang ke rumah sakit ternama, karena berpikir mereka memiliki dokter yang kompeten. Sayangnya aku bertemu dengan dokter judgemental yang membuatku tidak nyaman. Cukup dua kali aku berurusan dengannya, ketika dia menyinggung statusku yang tidak menikah, aku putuskan untuk berganti dokter.

Stevie memperkenalkanku pada Dokter Raya, dokter yang menangani Nina selama hamil anak pertamanya. Dokter Raya jauh berbeda dibanding dokter sebelumnya.

“She’s good. Gue nanya apa aja, dia jawabnya sabar banget.”

Dokter Raya tidak pernah keberatan meski pertanyaan yang kuajukan sangat mendasar. Bulan lalu, Carlos menemaniku kontrol. Dia menyecar Dokter Raya dengan banyak pertanyaan. Aku saja yang mendengarnya bisa kehabisan kesabaran, tapi Dokter Raya meladeni dengan tenang. Meski begitu, aku tersentuh dengan perhatian yang diberikannya. Dia tidak hanya memastikan nutrisiku dan bayi ini terpenuhi, dia juga membekali diri dengan pengetahuan seputar kehamilan.

“Kenapa gue enggak boleh ikut USG?” desak Jihane.

Aku tidak menjawab, hanya meliriknya sekilas. Keterdiamanku membuat Jihane mengerti. Dia bangkit duduk dan menghadap ke arahku.

“Lo benar-benar bikin gue kehabisan kesabaran. Dia siapa, sih?”

Sekali lagi, aku tidak menjawab. Namun, aku tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum.

“Minimal kasih kisi-kisi kek.” Jihane merengut.

“He’s good. Handsome. He has a nice hair. Very fluffy hair I like to touch it with my hand.” Aku mengakhiri dengan tawa ringan.

“Baguslah, berarti anak lo bakalan cakep banget.”

Kalau anak ini laki-laki dan menuruni rambut hitam tebal Carlos, matanya yang tajam, hidungnya yang mancung, juga bibirnya yang tebal, aku yakin anakku akan membuat banyak perempuan patah hati. Namun, jika dia perempuan, aku harus lebih ekstra protektif karena akan banyak laki-laki yang mendekatinya.

Yes, DarlingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang