48. Lembah Hitam

5.3K 636 10
                                        

Carlos

Max: Call me

Dua kata yang dikirimkan Max. Aku baru membaca pesan itu setelah selesai shift.

Perasaanku tak keruan. Pikiranku tertuju pada Dita. Seminggu terakhir, Dita tinggal di rumah Max. Kali terakhir aku menghubunginya, dia tidak suka dipaksa tinggal di rumah Max. Aku tidak tahu dengan siapa saja dia bergaul, juga bagaimana awal mula Dita terjerumus ke dunia kelam tersebut.

Tumbuh di keluarga toksik membuat Dita mencari pelampiasan di dunia luar. Saat itu Daisy baru saja kecelakaan. Aku mengakui kesalahanku, karena lebih memperhatikan Daisy. Dita yang duduk di bangku SMA, mulai mengenal dunia malam. Pergaulannya kian bebas. Aku menyadari ada yang berubah darinya setelah sering pulang malam dalam keadaan mabuk. Tubuhnya makin kurus dan dia semakin menarik diri. Hingga akhirnya aku tidak sengaja menemukan obat terlarang di tasnya, dan itu awal mula Dita memusuhiku.

"You're not even my brother," ketusnya saat itu, dan masih menghantuiku sampai sekarang.

Kalau saat itu aku lebih memperhatikannya, Dita tidak akan terjerumus ke jalan yang salah. Dia tidak memiliki ayah yang bisa melindunginya, juga ibu yang membimbingnya. Sebagai kakak, seharusnya aku lebih memperhatikan Dita.

Dita seorang diri. Dia pernah berkata seperti itu, bahwa di dunia ini, dia sebatang kara.

Aku berharap belum terlalu terlambat untuk membawa Dita kembali ke jalan yang benar.

Lobi masih dalam keadaan ramai, padahal sudah malam. Biasanya, aku akan menunggu Stephanie di lobi sebelum pulang ke rumahnya. Aku akan memasak makan malam, bermain bersama Alba, dan pulang ke apartemen Max begitu Stephanie dan Alba beristirahat. Rutinitas yang melelahkan, tapi juga menyenangkan karena tidak ada yang lebih berharga ketimbang waktu bersama Stephanie dan Alba.

Sambil menunggu Stephanie, aku menghubungi Max. Dia langsung mengangkat telepon di dering pertama.

"Dita kabur." Max memberitahu tanpa berbasa basi.

Rasanya seperti disambar petir. "Kabur?"

"Awalnya dia memberontak mau pergi, tapi belakangan dia mulai tenang. Dia enggak pernah berontak dan memaksa buat diizinin keluar lagi. Gue pikir dia sudah mulai betah tinggal di sini." Max memberitahu.

Dita bisa menghilang selama berhari-hari, bahkan berminggu-minggu. Saat menghilang itulah, aku tidak tahu apa saja yang dialaminya. Aku sudah berusaha mencari tahu teman-temannya, tapi Dita seperti hilang ditelan bumi.

Dia akan kembali ketika uangnya habis. Entah dengan mencuri uang Mama, memaksa mengambil uang Daisy, dan upaya terakhir, menghubungiku agar memberinya uang.

Kali ini, aku tidak mungkin menunggu sampai Dita kehabisan uang.

"I don't have any idea where is she right now. Damn it, gue cuma mandi dan dia malah kabur." Max menggerutu.

Ini bukan salah Max. Bagaimanapun, aku berutang banyak kepadanya. Dia sudah membantu jauh lebih banyak dibanding yang seharusnya.

"Gue masih menyimpan nomor teman sekolahnya, mungkin mereka tahu Dita di mana." Harapan, setipis apa pun, tetaplah harapan.

"Gue udah cari ke tempat dia nongkrong, tapi tempat itu sepi. Mereka selalu pindah-pindah, enggak pernah bertahan lama di satu tempat," ujar Max.

"Thanks. Gue bakal cari Dita dari sini."

"Lo enggak ke sini?" tanya Max.

Aku memijat kening karena kepalaku mendadak pusing.

"Daisy selalu nanyain kapan lo pulang. Dita di rumah sakit aja lo enggak pulang. Adik-adik lo khawatir," ucap Max.

Hal terakhir yang kuinginkan adalah Daisy mengkhawatirkanku. Namun tanpa sadar aku melakukannya.

"Gue enggak tahu kapan bisa ke Bali."

"Karena anak lo? Dia sudah berapa bulan? Kalau sudah bisa diajak bepergian naik pesawat, lo bawa dia ke sini."

Itu bukan hanya keputusanku. Aku harus membicarakannya dengan Stephanie.

"Gue usahakan."

"Oke. Gue bakalan coba bantu, demi Dita. Tapi, begitu dia ketemu, yang dia butuhin bukan gue, tapi kakaknya." Ucapan Max begitu menusuk.

Dentam di kepalaku semakin menjadi-jadi. Aku seperti ditarik oleh dua kutub magnet yang saling berlawanan.

"I understand. Thank you," sahutku.

Max meyakinkan dia akan membantu sebisa mungkin. Namun, itu belum cukup. Seharusnya aku berada di sana, kalau perlu menyusuri setiap sudut Bali demi mencari Dita. Tidak banyak yang bisa kulakukan jika hanya berada di Jakarta.

Mugkin aku bisa menghubungi Dokter Raya dan meminta saran, apakah Alba sudah bisa dibawa naik pesawat? Semoga Stephanie bisa mengambil cuti sehingga ikut ke Bali. Aku berharap dia mau ikut, karena mereka berdua adalah sumber kekuatanku.

Namun, Stephanie juga memiliki masalah yang mengikatnya di Jakarta.

Mungkin sebaiknya aku mempertimbangkan untuk pergi sendiri selama beberapa hari. Aku tidak tahu berapa lama waktu yang kubutuhkan untuk mencari Dita. Selama itu, aku harus menyimpan rindu untuk Alba.

Alba memang prioritasku, tapi Dita juga tanggung jawabku.

Dari sudut mata, aku melihat Stephanie keluar dari lift sambil menggendong Alba. Di belakangnya, ada Mbak Irma yang membawa semua tas berisi kebutuhan Alba.

Stephanie tersenyum saat melihatku, tapi ada yang berbeda dari senyumnya. Aku mendekatinya, dan saat jarakku dengannya menipis, aku melihat wajahnya yang pucat.

"Kamu sakit?" tanyaku. Tadi pagi, sewaktu bertemu Stephanie, dia terlihat baik-baik saja.

Stephanie meyerahkan Alba kepadaku. "Tadi siang vertigoku kambuh."

"Sekarang gimana?"

Wajahnya masih pucat. Dia terlihat lemah dan siap tumbang kapan saja.

"Aku sudah minum obat, tapi butuh istirahat."

Aku mengambil Alba dari gendongan Stephanie, dan membimbingnya menuju mobil yang sudah menunggu.

Tadinya aku akan memberitahu Stephanie soal keputusanku. Namun melihat keadaannya, aku tidak ingin menambah beban pikirannya. Mungkin sebaiknya aku membiarkan Stephanie beristirahat malam ini.

Satu malam lagi. Aku hanya bisa berharap ada keajaiban yang melindungi Dita.

Sesampainya di rumah, Stephanie menolak makan malam dan memutuskan langsung tidur. Aku tidak mungkin pulang malam ini, sehingga kuputuskan untuk menjaga Stephanie. Sekaligus berjaga-jaga jika Alba terbangun, sehingga aku bisa menenangkannya tanpa perlu menunggu Stephanie.

"Kamu tidur di sini malam ini?" tanya Stephanie. Suaranya lemah, matanya sulit dibuka.

Aku membenarkan letak selimut dan menunduk untuk mencium keningnya. Aku belum pernah mencium kening siapa pun sebelumnya. Ciuman di kening begitu sakral, sangat intim. Bukan sesuatu yang bisa diberikan dengan mudah.

Lagi dan lagi, Stephanie membuatku melanggar prinsip. Stephanie menjadi yang pertama untukku. Aku menciumnya di kening, sengaja berlama-lama di sana.

Saat menghentikan ciuman itu, Stephanie sudah tertidur. Wajahnya tampak damai. Kerutan di keningnya hilang saat terlelap. Stephanie bisa tertidur lelap dan melupakan semua beban dunia yang menimpanya.

Aku beranjak menuju Alba dan mendapati putriku sudah tertidur. Dia begitu cantik, dengan wajah bulat dan pipi gembil yang memerah. Saat tidur, mulutnya terbuka. Sangat menggemaskan. Semua yang melihatnya akan jatuh cinta kepadanya.

Seumur hidup, aku tidak pernah merasa diterima. Aku tidak memiliki tempat yang membuatku merasa memiliki, juga dimiliki.

Namun malam ini, aku merasakannya. Ada harapan besar di hatiku yang menginginkan agar di sinilah tempatku berada. Tempat aku bisa diterima.

Bersama Stephanie dan Alba.

Yes, DarlingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang