22. Realization

6.6K 659 14
                                    

Carlos

Ada banyak kejadian tidak terduga di hidupku. Ketika aku diusir dari rumah karena melawan ayah tiriku. Ketika menemukan Dita sekarat akibat overdosis di kamar mandi. Ketika menemukan Daisy yang mengalami mental breakdown setelah diamputasi. Semuanya membuatku siap menghadpai apa pun kejutan lainnya dalam hidup, karena aku yakin tidak akan ada yang bisa menandingi.

Salah besar.

Aku dengan sangat jelas mendengar perkataan Stephanie. Namun, seperti ada yang melumpuhkanku. Dua kata yang keluar dari mulutnya membuatku tidak bisa melakukan apa-apa. Bahkan untuk sekadar mencerna pun tidak bisa.

Stephanie hamil.

Hanya ada satu jawaban. Dia mengandung anakku. Stephanie tidak akan memberitahu perihal kehamilannya jika bukan aku yang harus bertanggung jawab atas anak itu.

Aku pernah membayangkan memiliki keluarga kecil bersama istri dan anak-anak. Namun, kenyataan demi kenyataan yang ada membuatku semakin jauh dari mimpi tersebut. Selamanya, keinginan itu hanya ada di dalam mimpi karena kenyataan terlalu pelik untukku.

Jauh di dalam hati, keinginan itu masih ada. Suatu hari nanti, aku bisa melupakan dan meninggalkan semuanya di belakang, lalu menatap masa depan bersama keluarga kecilku.

Namun, tidak sekarang.

"Aku merasa kamu berhak tahu soal kehamilanku, tapi kamu enggak perlu merasa terbebani. Ini anakku. Aku putuskan untuk mempertahankannya dan aku tidak berharap apa-apa dari kamu. Selain itu, aku ingin kita berhenti sampai di sini."

Ucapan Stephanie menyentakku. Seolah ada yang mengguncang tubuhku dan mengembalikanku ke kenyataan.

Aku bangkit berdiri untuk mengejar Stephanie. Aku menahan lengannya, sebelum dia menaiki tangga.

"Ada apa?" tanyanya.

"Kamu... hamil anakku?"

Tidak seharusnya aku bertanya seperti itu. Sama saja dengan menuduh Stephanie berhubungan dengan laki-laki lain. Aku memang baru mengenalnya, tapi aku yakin Stephanie sangat memegang janji. Dia yang menginginkan hubungan ini eksklusif, dia tidak akan mengingkari janji tersebut.

"Ini anakku."

"Aku... I don't know what to do."

Stephanie memutar tubuh untuk sepenuhnya menghadapku. Wajahnya begitu serius saat menatapku. Sudah berapa lama dia mengetahui perihal kehamilannya? Aku bertanya-tanya, pertentangan apa yang dialaminya setelah tahu dirinya hamil? Stephanie sendiri, apa pun pertentangan yang dialaminya, dia menghadapinya sendiri dengan sangat berani.

I didn't deserve her. Yet I'm willing to do anything to be with her.

"Aku mau menegaskan satu hal, aku tidak pernah menjebakmu. Ketika kita berhubungan seks tanpa kondom, aku melakukannya karena saat itu aku merasa overwhelm dengan keadaan di antara kita sehingga tidak berpikir panjang," jelasnya.

Aku mengusap wajahnya. "Aku tidak pernah menuduhmu menjebakku. Demi Tuhan, aku yang tidak bisa menahan diri. Aku tidak mau kamu berpikiran aku sengaja menghamilimu."

"Kenapa kamu berpikir seperti itu?"

Aku menunjuk ke sekeliling. "Look at you. You have everything. Sementara aku tidak memiliki apa-apa."

Stephanie menyentuh pipiku, telapak tangannya terasa hangat di wajahku. "I trust you."

Aku tidak bisa mendefinisikan perasaanku saat ini. Semuanya begitu tiba-tiba, aku bahkan tidak bisa berpikir dengan jernih.

"Carlos, aku sudah berpikir masak-masak. Aku mengerti keadaanmu, jadi kamu enggak perlu khawatir. Aku enggak akan memintamu menikahiku, tanggung jawabmu tidak harus diwujudkan dalam pernikahan," ujarnya.

Yes, DarlingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang