Stephanie
Kalau tidak ada Jihane, mungkin saat ini aku masih bergumul dengan penyesalan. Perjalanan ke Bali terasa lebih menantang karena ini kali pertama aku mengajak Alba bepergian.
Meski pengalaman pertamanya, Alba tidak rewel apalagi ketakutan. Justru aku yang ingin menangis, karena Alba seolah mengerti gejolak yang ada di hatiku. Sepanjang perjalanan, dia tak henti menatapku dengan wajah penuh senyuman, seakan menyuruhku untuk bergegas agar dia bisa bertemu ayahnya.
"Jadi, kita ke mana?" tanya Jihane. Aku benar-benar bergantung kepada Jihane. Dia bisa diandalkan, karena aku jelas-jelas tidak berfungsi dengan baik.
Jihane tidak hanya mengurus tiket penerbangan ke Bali, juga meminjamkan villanya untuk ditinggali. Aku tidak tahu berapa lama waktu yang kubutuhkan di Bali, dan aku tidak peduli selama apa pun waktu yang dibutuhkan.
Saat ini, yang aku pikirkan hanya satu. Aku harus bertemu Carlos. Apa pun yang terjadi di Jakarta, kusimpan jauh-jauh di bagian belakang kepala agar tidak mengganggu.
Kali pertama di hidupku, aku lebih mendengarkan kata hati ketimbang akal sehat. Atau justru saat ini akal sehat dan hati menginginkan hal yang sama?
"Gue enggak tahu."
Jihane menatapku dengan tatapan horor. "Kata lo, dia di Bali."
Akhirnya aku membaca pesan yang dikirimkan Carlos. Hatiku mencelus saat mengetahui yang dihadapinya. Dia ke Bali bukan untuk menghindar, melainkan karena Dita yang dirawat. Aku tidak bisa menahan air mata ketika membaca pesan demi pesan, dan menyesali mengapa aku begitu lama larut dalam kebodohan? Seharusnya aku sudah menyusul Carlos sejak lama.
Dari pesannya, aku tahu dia di Bali. Namun, hanya sebatas itu.
"Bali luas, Han. Gue enggak tahu dia tinggal di mana."
Aku bahkan tidak tahu Dita dirawat di mana.
Pesan terakhir datang dua hari yang lalu dan setelah itu, Carlos tidak lagi menghubungiku.
"Gue pikir lo tahu," desah Jihane.
Jika perlu, aku akan mengunjungi seluruh rumah sakit untuk mencari Carlos.
"Lo enggak bakalan menyerah, kan?" Jihane menatapku curiga.
Aku menggeleng. Sudah sejauh ini, aku tidak akan menyerah. Hal ini tidak akan terjadi jika aku tidak bersikap bodoh. Aku tidak ingin menyesal lebih dalam, sehingga apa pun yang terjadi, aku akan bertanggung jawab atas kebodohanku.
Mataku menatap Alba yang tengah tertidur. Aku harus melakukan ini demi Alba. Aku tidak akan memisahkan Alba dari ayahnya.
Juga untuk memperjuangkan perasaan yang terlambat kusadari.
Aku bahkan siap berlutut dan memohon di kaki Carlos agar memaafkanku.
"Lo coba pikir-pikir, pasti ada tempat yang bisa dikunjungi," ucap Jihane.
"Gue bisa telepon dia." Aku tidak yakin dengan ide tersebut.
Jihane menggeleng. "Surprise him. Kalau dia masih marah, yang ada dia enggak mau nemuin."
Aku bertemu Carlos di Bali, di club milik temannya. Aku bisa ke sana. Namun, aku tidak mungkin memberitahu Jihane soal club tersebut, karena dia yang membawaku ke sana untuk pertama kalinya.
"Gue nitip Alba ya." Aku bangkit berdiri dan menyambar tas. "Gue tahu tempat temannya. Semoga dia tahu Carlos di mana."
Jihane melemparkan kunci mobil. Aku tidak menyangka, sehingga kunci tersebut jatuh ke lantai.

KAMU SEDANG MEMBACA
Yes, Darling
Storie d'amoreSetelah sepuluh tahun menikah tanpa cinta akibat dijodohkan, Stephanie memutuskan untuk bercerai. Tak ada waktu untuk masalah hati, karena posisi sebagai CEO Kawilarang Group menyita semua waktu. Untuk merayakan kebebasannya, Stephanie menghabiskan...