23. Keputusan

6.6K 699 12
                                    

Ketika Carlos pergi dari rumahku kemarin, aku meneguhkan hati dia tidak akan kembali. Aku mengerti keadaannya, kehadiran seorang anak tidak ada dalam rencananya saat ini. Masa depan memang misteri, tapi aku cukup yakin bahwa aku dan anakku, kami berdua akan baik-baik saja.

Aku tidak menduga Carlos akan datang. Seharusnya aku tidak berharap terlalu jauh. Mungkin saja kedatangannya untuk menegaskan bahwa dia tidak mau terlibat dengan anak ini.

“Aku ingin mengenal anakku.”

Ucapan Carlos membuat langkahku seketika terhenti. Aku berbalik untuk menatapnya. Malam ini, aku tidak lagi melihat sosok Carlos yang percaya diri dan riang. Ada ragu di raut wajahnya, juga ketakutan yang berusaha disembunyikannya.

Are you serious?”

Dia mengangkat wajah dan menatapku. Matanya yang selalu berkilau, kali ini tampak gelap. Aku tidak bisa melongok ke balik tatapannya.

Yes.” Dia menjawab tegas.

“Aku enggak keberatan kalau kamu tidak mau terlibat. Aku mengerti situasimu. Lagi pula, aku yang menginginkan anak ini.”

Carlos mengambil langkah dan memutus jarak denganku. Tubuhnya begitu mendominasi saat berada di depanku tanpa jarak yang tersisa.

This isn’t about you, Fani. This is about me.”

Aku sudah membuka mulut, tapi tak ada satu pun kata yang keluar dari mulutku. Ucapannya begitu tegas, menelan kembali semua bantahan yang kumiliki.

“Dia memang anakmu, tapi dia juga anakku. Aku ingin mengenalnya.”

Ada nada pedih di balik perkataannya. Aku teringat ceritanya, tentang ayah yang tidak pernah dikenalnya. Sekarang aku mengerti mengapa dia mengambil keputusan ini. Jika ada yang mengerti pahitnya hidup tanpa Ayah, Carlos orangnya.

Aku menuju sofa, dan Carlos mengikuti di belakangku.

“Ada beberapa hal yang harus kita sepakati.” Aku membuka suara.

Carlos menumpukan lengan di atas pahanya, sehingga tubuhnya condong ke arahku.

Tell me what you want.”

Sejujurnya, aku belum berpikir sejauh itu. Aku terbiasa dengan rencana demi rencana, termasuk back up plan yang sangat detail. Hal tersebut yang membuatku yakin menjalani hari demi hari, karena ada rencana matang yang mendukung.

Tidak kali ini. Aku tidak punya rencana apa-apa. Aku hanya memikirkan hal demi hal satu per satu. Fokusku hanya pada cara memberi tahu Carlos. Setelah itu, aku belum memikirkannya.

“Aku belum tahu arrangement seperti apa yang cocok untuk kita, tapi kita enggak perlu menikah,” jawabku.

“Kamu tahu risikonya menjadi single mother tanpa pernikahan, kan?” tanyanya.

Tentu aku tahu. Bukan tidak mungkin semua orang di sekitarku akan menolak keputusanku. Mama pasti akan menolak. Aku bisa membayangkan Mama mengamuk ketika tahu aku hamil. Meski sejak dulu Mama menegaskan bahwa fungsiku sebagai perempuan tak lebih dari sekadar reproduksi, Mama tidak akan terima fakta aku hamil di luar nikah. Bukan karena aku, melainkan demi ego. Kehamilan ini sama saja dengan mencoreng ego Mama di hadapan koleganya.

Belum lagi rekan kerjaku di kantor. Mereka pasti akan mencari cara dan menjadikan kehamilanku sebagai alasan aku tidak cocok menjadi CEO.

I don’t give a fuck about it.

“Aku pernah menikah tanpa cinta dan sepuluh tahun berada dalam pernikahan yang tak bermakna seperti itu, aku rasa sudah cukup. Aku tidak akan menikah cuma untuk menyelamatkan muka,” tegasku.

Yes, DarlingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang