32. Party Goes Wrong

7K 687 3
                                        

Stephanie

Meski tidak menyukai acara basa basi seperti ini, harus diakui cara ini cukup efektif untuk menjalin relasi. Bukan sekali dua kali persetujuan bisnis terjadi di acara seperti ini. Papa selalu memastikan Mama mengadakan pesta setiap bulan, dan setelah aku menggantikan Papa, Mama tak henti-hentinya menyuruhku melakukan hal yang sama. Seakan beban pekerjaanku belum cukup, harus ditambah dengan acara ini. Sesekali, Erick mengabulkan keinginan Mama, tapi sekarang Erick tidak lagi berkewajiban menyenangkan Mama, sehingga semua ekspektasi dibebankan ke pundakku.

Begitu melangkah ke ballroom hotel tempat Om Richard mengadakan pesta, semua mata tertuju kepadaku. Beruntung Stevie menemaniku, karena aku tidak ingin datang sendiri.

Melihat Om Richard membuatku teringat Papa. Mereka sangat mirip, tapi Om Richard sedikit lebih pendek dan gemuk dibanding Papa. Kalau Papa tidak pernah tersenyum sehingga terlihat bengis, Om Richard sebaliknya. Dia punya wajah ramah yang karismatik, sehingga bisa mengelabui siapa pun. Hal tersebut juga diwarisi Tommy. Itu hanya kamuflase, karena mereka manusia berhati bengis yang pernah kukenal.

"Stevie. Stephanie." Om Richard menyambut dengan senyum dan tangan terbuka lebar. Di balik senyum itu, ada dengkus tidak suka.

Om Richard tidak mengundangku. Tanpa Mama, aku tidak akan tahu soal pesta ini. Meski aku datang tanpa undangan, tidak ada yang menghalangi kedatanganku dan Stevie. Nama belakang Kawilarang memegang peranan besar.

"Apa kabar, Om? Sehat?" tanyaku berbasa basi. Tubuhku kaku saat memeluk Om Richard. Aroma cerutu dari tubuhnya membuatku pusing.

"Kalau sudah pensiun begini ya jadi lebih banyak waktu untuk santai." Om Richard terkekeh. Meski sudah pensiun, beliau masih mencengkeram Tommy. Tommy tak lebih dari sekadar pion di permainan Om Richard.

"Pestanya ramai," cetusku.

Om Richard kembali tertawa. "Tahu sendiri Tante kalian gimana. Mana pernah bikin pesta yang sepi. Ibu kalian mana?"

"Di rumah. Mama nitip salam," sahut Stevie. Tentu saja Mama tidak menitipkan pesan. Mama bahkan tidak tahu soal kedatanganku dan Stevie.

"Stephanie, Stevie. Kalian kenapa enggak nemuin Tante?" Tante Sarah, istri Om Richard, menghampiri. Beliau begitu heboh, dengan suara keras, membuat semua mata memandang ke arah kami. Itu tujuannya, karena Tante Sarah menyukai sorotan. Dia tidak ingin berbagi sorotan dengan siapa pun.

"Kami juga baru datang. Ini mau nyariin Tante, tapi kayaknya sibuk, ya." Stevie berbasa basi.

Tante Sarah mengibaskan tangan di depan wajahnya. "Begitulah. Orang-orang ini sudah dibayar mahal tapi kerjanya enggak becus, jadi harus diawasi."

Aku refleks mendengkus, membuat Tante Sarah dan Om Richard menatapku. Aku pura-pura batuk untuk menyembunyikan reaksi sebelumnya.

Mata Tante Sarah membola saat menatapku. Dia terang-terangan menatap perutku. Malam ini, aku mengenakan gaun pas badan sehingga menonjolkan kehamilanku. Aku sengaja melakukannya, sebuah perlawanan kecil menghadapi manusia beracun di pesta ini. Apa pun yang terjadi, mereka akan membicarakanku, jadi sekalian saja aku memberikan amunisi.

"Stephanie, ya ampun. Kamu bikin kaget. Tante dan Om belum ngucapin selamat. Waktu Tommy bilang kamu hamil, Tante hampir enggak percaya. Kamu nikah lama sama Erick, tapi malah hamil setelah cerai."

Suara Tante Sarah begitu keras, membuat pesta yang tadinya riuh mendadak hening. Ketika menyadari semua perhatian tertuju kepadaku, Tante Sarah menutup mulut dengan tangan. Reaksi pura-pura kaget dan merasa bersalah, padahal dia sengaja melakukannya.

"Kamu sehat, kan?" Tante Sarah menatapku lekat-lekat. Binar licik terlihat jelas di matanya.

"Sehat, Tante."

Yes, DarlingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang