Carlos
"Kamu masak apa?"
Aku melirik Stephanie yang bergabung denganku di dapurnya. Dia hanya mengenakan bathrobe, aku yakin dia tidak mengenalkan pakaian lain. Aku bahkan bisa melihat bongkahan payudaranya yang mengintip dari balik bathrobe.
"Paella."
Wajah Stephanie langsung berubah cerah. Baru kali ini aku mendapati perempuan yang begitu berbinar-binar saat aku memasak untuknya. Inilah yang membuatku rela bangun pagi dan membeli bahan masakan, karena ingin melihat binar bahagia di wajahnya.
Binar bahagia di wajah Stephanie menjadi tujuan utamaku. My end goal. Aku bertekad ingin mengusir kesedihannya, juga tekanan berat yang dirasakannya. Kalau masakanku bisa menghadirkan binar bahagia tersebut, aku akan dengan senang hati selalu memasak untuknya.
"Finally. Tadinya aku mau nanya, kapan kamu mau masak paella? Kamu sudah janji."
Aku memusatkan perhatian pada tomat dan paprika yang sedang kupotong. "Kenapa enggak jadi?"
"Aku terdistraksi hal lain."
"Apa?" godaku.
Stephanie menyikutku. "Your gigantic penis. Puas?"
Aku refleks tertawa. Siapa sangka jika CEO yang selalu tenang dan berwibawa seperti Stephanie mempunayi mulut kotor kalau sudah bersinggungan dengan seks? Mulut kotor Stephanie jelas menjadi kelemahanku.
Penisku langsung berulah karena kedekatan ini. Namun, aku menahan diri. Aku sudah berjanji akan memasak paella untuk makan siang. Itulah yang seharusnya kulakukan.
Bukannya membayangkan tengah menggauli Stephanie.
"Tell me, apa mimpimu?" Stephanie melompat ke atas kitchen island sehingga bisa menghadapku.
"Mimpiku? Aku bercinta denganmu di pinggir pantai."
"Hmmm... interesting. Tapi yang kumaksud bukan itu. Maksudku, apa mimpimu? Mimpi dalam artian impian? Cita-cita?" tanyanya lagi.
Aku beranjak untuk mencuci udang. "Kamu tahu aku mau jadi chef."
"Ya, sih, tapi kamu pasti punya cita-cita lain."
"Aku enggak pernah ngerasain kasih sayang. Katanya cinta dari keluarga itu tanpa syarat, tapi enggak berlaku untukku. Sampai sekarang aku enggak pernah mendapatkan cinta dari ibuku. Jangan tanya soal ayahku, aku yakin dia bahkan enggak sadar aku ada," balasku.
"Tell me about your family."
Pertanyaan sederhana, tapi jawabannya tidak sesederhana itu. Membicarakan perihal keluarga merupakan tiitk terlemahku. Bukannya aku malu memiliki keluarga disfungsional seperti itu. Namun, aku tidak ingin dihakimi hanya karena keadaan keluargaku.
Aku sengaja melirik Stephanie. Ada dorongan dari dalam hatiku untuk menjawab pertanyaan tersebut. Stephanie juga memiliki kehidupan yang berat, aku yakin dia tidak akan menghakimi.
Aku memasukkan bumbu dan saffron ke dalam nasi dan memasaknya, sebelum bersandar ke kitchen island di samping Stephanie.
"Ibuku seorang yang romantis, dan dia jatuh cinta kepada ayahku. Aku enggak tahu apa-apa soal ayah kandungku, tapi aku cukup mengerti bahwa Mama begitu patah hati saat ditinggal. Apalagi dia tengah mengandung. Sedikit banyak aku mengerti kenapa dia membenciku." Aku berkata pelan.
"Harusnya aku bilang, tetap saja seharusnya dia mencintaimu karena dia ibumu." Stephanie tertawa tipis. "Tapi ibuku juga fuck up, jadi aku menyimpan pembelaan itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Yes, Darling
Любовные романыSetelah sepuluh tahun menikah tanpa cinta akibat dijodohkan, Stephanie memutuskan untuk bercerai. Tak ada waktu untuk masalah hati, karena posisi sebagai CEO Kawilarang Group menyita semua waktu. Untuk merayakan kebebasannya, Stephanie menghabiskan...