34. Bad Mother

5.8K 581 10
                                    

Carlos

Dari tempatku, aku bisa mengawasi ruang makan di dekat kolam, tempat keluarga Stephanie berkumpul. Aku bisa melihat kemiripan antara dia dan kakaknya. Aku mengenali perempuan yang datang bersamanya ke klab di Bali, Jihane. Ada seorang perempuan yang menggendong bayi, aku menebak dia istri kakaknya. Lalu, perempuan baya berwajah angkuh yang menatap Stephanie dengan dingin, kuyakini sebagai ibunya.

Stephanie tidak memperkenalkanku kepada keluarganya. Tidak ada keharusan untuk itu. Aku tidak punya hak untuk berkenalan dengan mereka, apalagi berada di meja yang sama. Seharusnya aku angkat kaki begitu selesai memasak, tapi aku bergeming.

Dari hari ke hari, semakin sulit berjauhan dengan Stephanie.

Aku menyesal sudah memasak ayam woku kesukaan ibunya. Aku mendengar perkataannya yang menyakiti Stephanie. Aku mati-matian menahan diri untuk tidak menghambur ke antara mereka dan melindungi Stephanie.

Aku bukan siapa-siapa di hidup Stephanie.

Sekarang aku mengerti asal wajah sedih itu. Aku memang tidak mempunyai ibu yang baik, tapi Mama sedikit lebih baik. Mama hanya mengabaikanku, tidak pernah ada kata-kata yang menyakiti. Berbeda dengan perempuan baya yang sejak tadi menyakiti Stephanie.

"Apa kata Papa dan kakekmu kalau kamu gagal? Perusahaan itu bisa jatuh ke tangan Richard."

Harta mengaburkan banyak hal, termasuk hubungan keluarga. Aku tidak mengerti permasalahannya, tapi terlihat ibunya hanya mementingkan perusahaan ketimbang anaknya.

"Ma, enggak bakal ada yang gagal. Perusahaan itu akan berkembang di tangan Fani."

Setidaknya Stephanie memiliki kakak yang siap pasang badan untuknya. Kalau tidak ada dia, aku sudah menerjang ibunya sejak tadi.

"Kamu enggak ada di sana, Stevie. Kalau kamu lihat laporan keuangan, kamu akan tahu apa yang sebenarnya terjadi."

Stephanie menoleh ke arah dapur. Matanya seperti mencari-cari sesuatu. Dia baru berhenti begitu bersitatap denganku. Stephanie tersenyum lemah, membuatku ingin memeluknya.

Ibunya masih terus meracau, sedangkan Stephanie bergerak gelisah. Makanan di piringnya masih utuh. Tidak biasa-biasanya dia kehilangan selera makan. Namun, siapa juga yang bisa makan dalam keadaan seperti ini?

"Ma, my company, my rule. Kalau Mama mau ikut-ikutan ambil cara ilegal, silakan. Aku enggak akan bertanggung jawab kalau terjadi apa-apa," putus Stephanie tegas.

Namun, ucapannya dianggap angin lalu.

"Nina, kamu bekerja untuk Stevie. Kamu bisa menggantikan Stevie, biar dia kembali ke perusahaan."

Perempuan bernama Nina itu tersenyum tipis. "Keputusannya bukan di aku, Ma, tapi Stevie."

"Kalian ini, enggak ada satu pun yang bisa diharapkan."

"Kalau aja Tante percaya sama Fani, enggak bakal kebakaran jenggot begini." Jihane menimpali. "Anyway, ayam wokunya enak. Lo beli di mana?"

Upaya Jihane memecah suasana sia-sia, karena tidak ada yang menanggapi.

"Mama kecewa sama kamu. Kamu bersikeras ingin meneruskan kerja keras Papa, tapi nyatanya?"

Aku memegang pinggiran pintu keras-keras sampai buku tanganku memutih. Apa pantas seorang ibu berkata seperti itu?

"Ditambah lagi kamu hamil. Entah siapa ayah anak itu. Mama sudah menjodohkanmu dengan Erick, tapi malah disia-siakan. Kamu benar-benar mengecewakan."

"Ma, enggak pantas Mama bicara begitu," tegur Stevie.

Yes, DarlingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang