Stephanie
Aku berhenti bercerita ketika menyadari Carlos tidak mendengarkan. Raganya di sebelahku, tapi pandangannya yang kosong memberitahu pikirannya tidak berada di sini.
"Hei..." Aku menyikut lengannya pelan.
Carlos tersentak dan gelagapan. Dia memaksakan diri untuk tersenyum.
"Aku ambilin dulu." Carlos langsung berdiri.
Aku meraih lengannya dan menahan langkahnya. "Kamu mau ambilin apa?" tanyaku.
Carlos mengusap bagian belakang lehernya. "Kamu mau..." matanya menatap ke sekeliling sebelum berhenti di gelas yang kosong, "minum."
Aku tertawa kecil dan menggeleng. "Aku lagi cerita soal hadiah dari Jihane yang banyak banget, sampai-sampai kamarku penuh."
Kesadaran menyentak Carlos. Dia mengerjap beberapa kali. "Sorry, aku..."
"Ada apa?" potongku sembari menarik tangannya agar kembali duduk. "Kamu lagi mikirin apa?"
Carlos tidak menjawab, hanya desahan napasnya yang terdengar. Wajahnya tampak keras dengan kerutan dalam di keningnya. Ada hal berat yang membebani pikirannya.
"Aku lagi nunggu kabar dari Max soal Dita," ujarnya.
"Dita kenapa?"
"Dia masuk rumah sakit."
Jawaban itu menyentakku. "Sudah berapa hari?" tanyaku.
"Dari kemarin."
Sudah dua hari adiknya dirawat di rumah sakit. Seharusnya dia berada di Bali menemani Dita. Namun, Carlos berada di rumahku.
"Dia kesakitan, tapi dokter enggak berani memberi obat pereda sakit karena riwayat ketergantungan," jelasnya.
Aku refleks menggenggam tangannya. "Kenapa kamu malah di sini?"
Carlos menoleh ke arahku dan menatapku dengan kening berkerut. "Maksudmu?"
"Dita membutuhkanmu. Harusnya kamu nemenin dia."
Tatapannya turun hingga berhenti di perutku. "Sewaktu-waktu, ketubanmu pisa pecah. Kita tinggal menunggu hari, jadi aku enggak bisa meninggalkanmu sendiri."
Aku sudah membuka mulut untuk membantah, tapi semuanya hilang begitu mendengar jawabannya. Aku tidak menduga akan mendapat jawaban seperti itu.
Dia sangat menyayangi adiknya. Berkali-kali dia menekankan bahwa dia rela melakukan apa saja untuk melindungi adiknya. Aku yakin Carlos tidak perlu berpikir dua kali untuk pulang ke Bali saat mengetahui kondisi Dita. Namun dia bertahan di Jakarta.
Aku yakin alasannya karena anakku.
Tanpa bisa dicegah, hatiku menghangat. Namun juga ada perasaan tidak nyaman. Aku tidak ingin kehadiranku membuat seseorang harus memilih, dan aku baru saja membuat Carlos memilih antara akua tau adiknya.
"Kamu harusnya enggak perlu khawatir. Ada Jihane yang bisa dimintai tolong," ujarku.
Carlos menatapku lekat-lekat. Tatapannya menusuk tajam. Matanya menggelap, membuatnya terlihat lebih dalam dan misterius. Belum pernah aku mendapat tatapan seperti ini, dan Carlos yang menatapku dingin membuatku tidak nyaman.
"Menurutmu, aku seharusnya menemani Dita?" Bukan hanya tatapannya, tapi suaranya juga terdengar dingin.
"Maksudku, mungkin saja kamu lebih dibutuhkan di sana."
Carlos kembali menatapku dingin, membuatku menyesal sudah bicara. Seharusnya aku tidak berkata apa-apa.
"Kamu tidak membutuhkanku?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Yes, Darling
RomantikSetelah sepuluh tahun menikah tanpa cinta akibat dijodohkan, Stephanie memutuskan untuk bercerai. Tak ada waktu untuk masalah hati, karena posisi sebagai CEO Kawilarang Group menyita semua waktu. Untuk merayakan kebebasannya, Stephanie menghabiskan...