Stephanie
"What?" Aku menajamkan pendengaran, berharap tidak salah dengar.
"RUPS akan diadakan besok pagi, jam sepuluh."
Stevie menghubungiku tengah malam untuk memberitahu perihal rapat tersebut. Hanya tinggal hitungan jam, aku belum menerima undangan apa-apa.
"Are you sure?" Aku masih berharap informasi yang diterima Stevie salah.
"Pak Arief yang mengundangku," jawabnya. Pak Arief, salah satu komisaris yang sangat dekat dengan Papa. Beliau masih berharap Stevie berubah pikiran. "Dia setia sama Papa dan kamu tahu sejarahnya dengan Om Richard. Dengan memberitahauku, dia menduga aku akan memberitahumu sebelum kamu mendapat undangan resmi. Pilihannya kamu atau Tommy, dan dia lebih memilih kamu."
Aku menatap jam. Hampir menjelang tengah malam, aku tidak yakin mempunyai cukup waktu.
"Let's fight, Fani. Apa pun keputusanmu."
Keyakinan yang diberikan Stevie tidak bisa menenangkanku. Perutku melilit membayangkan apa yang seharusnya kuputuskan.
Selama beberapa hari tinggal di Bali, aku merasa tenang. Ketenangan yang selama ini kucari, akhirnya kudapatkan saat bersama Carlos dan Alba. Aku bahagia saat menunggu Carlos memasak sambil bermain dengan Alba, atau melihat Daisy merajut. Aku bahagia ketika menghabiskan malam dengan menonton film bersama Carlos atau sekadar bercerita tanpa arah bersama Daisy. Tanpa sadar kusadari bahwa kehidupan yang kuinginkan bukanlah kehidupan serba cepat penuh tekanan seperti yang kualami di Jakarta. Melainkan hidup tenang dan damai bersama orang yang kusayangi.
Stephanie yang dulu dibutakan oleh ambisi, sampai-sampai harus kehilangan dirinya sendiri. Susah payah aku berusaha mengenali siapa diriku. Alba membuka mataku akan kehidupan yang ingin kujalani, juga kehidupan yang kupersiapkan untuk Alba kelak.
Kembali ke Jakarta terasa seperti momok yang menakutkan.
I want to stay here.
"Aku enggak tahu. Aku... mau tidur."
Di seberang sana, Stevie terdiam. Aku tidak tahu apakah dia kecewa kepadaku. Untuk saat ini, aku tidak ingin mendengar apa pun. Aku memutus panggilan telepon, tapi peringatan Stevie terus terngaing di benakku.
Notifikasi pertanda email masuk membuatku menjejak realita sepenuhnya.
"What's wrong?" tanya Carlos. Dia ikut terbangun karena telepon dari Stevie.
Aku memberikan handphone kepadanya. Raut wajah Carlos berubah keras saat membaca undangan tersebut.
"Kita ke Jakarta besok," ujarnya tegas.
"Tapi..."
"Kita bisa mengejar penerbangan pagi, pasti keburu," potongnya. Carlos menahan wajahku dengan kedua tangannya agar aku tidak bisa menghindar. "Kamu harus menghadapinya, tapi kamu enggak sendiri. Aku akan ikut ke Jakarta bersamamu."
"Aku enggak tahu harus gimana," elakku.
"Kamu tahu." Berbeda denganku, Carlos begitu tegas. Aku membutuhkan kepercayaan dirinya, karena hanya itu satu-satunya harapan yang kupunya.
"Gimana dengan Alba dan Daisy?"
"Ada Jihane, dia pasti mau menemani Alba dan Daisy selama kita di Jakarta. Aku akan meminta bantuan Max," jawabnya.
"Daisy enggak mau ditinggal."
Carlos tersenyum. "Kita enggak ninggalin dia. Ini hanya sementara. Begitu semuanya selesai, kita tahu apa yang harus dilakukan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Yes, Darling
RomansaSetelah sepuluh tahun menikah tanpa cinta akibat dijodohkan, Stephanie memutuskan untuk bercerai. Tak ada waktu untuk masalah hati, karena posisi sebagai CEO Kawilarang Group menyita semua waktu. Untuk merayakan kebebasannya, Stephanie menghabiskan...