Carlos
"Ada yang nyariin kamu." Intan menghampiriku. Dia menunjuk ke balik punggung, ke arah restoran.
Aku mengintip dari jendela yang membatasi area kitchen dan dining. Di salah satu meja, aku melihat Ed berbicara dengan pelanggan. Wajah keras Ed menunjukkan dia sedang menahan emosi.
"Dia mau bertemu kamu, tapi Ed bilang di sini enggak ada yang namanya Carlos," lanjut Intan.
Aku kembali menatap area dining. Meski jam makan siang, restoran ini sepi. Seharusnya tidak seperti ini. Aku sudah lama mengenal Magdalene. Pierre, pemilik sekaligus chef, orang pertama yang mau menampungku. Dia menempatkanku di bagian cleaning. Waktu itu aku masih remaja SMP yang butuh uang untuk menyambung hidup, dan bekerja sebagai tukang cuci piring di restoran ini tidak hanya memberiku uang, tapi juga menumbuhkan kecintaanku terhadap memasak. Di sela waktu, Pierre mengajari cara memasak. Dia begitu ahli membuat masakan Italia, kampung halamannya. Setiap kali Pierre rindu kampungnya, dia akan mengajakku memasak. Aku sudah menganggapnya seperti sosok ayah yang tidak pernah kumiliki. Dari Pierre, aku tahu rasa masakan Italia yang otentik.
Ed masih adu mulut dengan perempuan itu. Aku berusaha mengenalinya. Dia duduk membelakangiku sehingga yang bisa kulihat hanya rambut hitam sepundak. Apa pun yang dikatakan perempuan itu membuat Ed semakin emosi.
Tanpa sengaja, Ed melirik ke arah kitchen dan menangkap basah aku tengah meneliti keadaan di luar. Wajahnya semakin berubah masam.
Ed baru bergabung di restoran ini enam bulan lalu. Dia begitu membangga-banggakan almamaternya, Le Cordon Bleu. Pierre yang sudah tua tidak lagi sanggup menjalankan restoran ini. Sebelum Ed datang, aku mencoba menggantikan Pierre. Pelajaran darinya cukup membantu, membuat restoran ini bertahan selama beberapa bulan.
Magdalene bukan lagi satu-satunya restoran Italia di daerah ini. Seminyak semakin padat, kompetitor terus berdatangan. Pierre terlalu terlena pada masakannya sehingga lupa bahwa bisnis kuliner tak hanya perihal rasa. Ketika sadar, Magdalene sudah terseok-seok.
Ed datang sebagai investor, dengan syarat dia yang menjadi chef. Pierre memutuskan mundur dan memberikan tahtanya kepada Ed. Kalau saja aku punya uang, aku akan memberikannya kepada Pierre agar bisa menjadi chef dan menyelamatkan Magdalene. Meski kemampuanku di atas Ed yang lulusan sekolah kuliner ternama, yang dibutuhkan Pierre adalah Ed. Semenjak Ed datang, aku kembali menjadi tukang cuci piring. Itu caranya menyingkirkanku, setelah aku mengkritik masakannya. Ed tidak terima dikritik.
Bukannya maju, Magdalene malah mundur. Jika dulu masih bisa mengandalkan rasa, sekarang tidak lagi. Masakan Ed tidak bisa menolong Magdalene.
Perempuan tersebut berdiri. Saat dia berbalik, aku tersentak.
Stephanie.
Sekarang aku mengerti. Dia mengira aku bekerja sebagai chef di sini. Aku tidak memberitahu posisiku, jadi wajar dia punya pendapat seperti itu. Raut wajahnya yang kecewa, juga piring yang masih penuh di atas meja, membuatku mengerti permasalahan ini.
Mataku mengikuti Stephanie yang berjalan cepat keluar restoran. Di belakangnya, ada perempuan lain yang mengikuti.
Dia sudah mencuri perhatianku sejak pertana kali melihatnya. Dia perempuan paling cantik yang pernah kulihat. Sekaligus perenpuan berwajah paling sedih.
Seumur hidup, aku sudah akrab dengan kesedihan sehingga ketika melihat Stephanie, aku langsung merasakannya. Sekalipun dia menutupinya, wajahnya tidak bisa berbohong.
Saat di club, ketika semua perempuan heboh menyuruhku menelanjangi diri, Stephanie hanya menatapku nanar. Itulah yang membuatku mendekatinya.
Pekerjaan itu jelas tidak bisa dibanggakan. Aku harus menahan diri dan memasang senyum sepanjang malam sementara perempuan-perempuan kaya itu memperlakukanku seolah aku bukan manusia. Aku hanya objek pemuas nafsu. Meski aku menyodorkan diri untuk disentuh, bukan berarti aku menikmatinya. Max, temanku, membawaku ke club itu ketika aku butuh uang banyak dalan waktu singkat. Menurut Max, wajah dan tubuhku bisa mendatangkan uang banyak dengan menjadi stripper di club miliknya.
![](https://img.wattpad.com/cover/331590522-288-k208865.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Yes, Darling
RomansaSetelah sepuluh tahun menikah tanpa cinta akibat dijodohkan, Stephanie memutuskan untuk bercerai. Tak ada waktu untuk masalah hati, karena posisi sebagai CEO Kawilarang Group menyita semua waktu. Untuk merayakan kebebasannya, Stephanie menghabiskan...