6. Meninggalkanmu

9.5K 738 5
                                        

Carlos

Pierre tidak main-main dengan ucapannya. Dia membuat keputusan untukku, dengan memecatku. Ed tampak begitu puas begitu aku berhenti bekerja. Terserah dia, Magdalene hancur itu semua karena salah Ed yang terlalu egois sehingga lupa kalau dia tidak sehebat yang dia pikir.

Aku tidak tahu harus ke mana. Mencari pekerjaan bukan hal yang mudah. Aku hanya lulusan SMK, dengan portofolio bekerja di bagian kitchen. Tidak banyak lowongan yang tersedia untukku. Itu pun hanya sebatas asisten atau waitress. Restoran di Bali terbagi dua, restoran besar dengan gengsi tinggi yang hanya mau memperkerjakan lulusan sekolah kuliner ternama, juga restoran kecil yang mengandalkan pemilik untuk menangani bagian kitchen.

Max, temanku, sekaligus yang menjerumuskanku sebagai stripper dan male escort, memberikan daftar kliennya kepadaku.

Easy money.

Bukan hal yang bisa dibanggakan. Menjual diri bukan pekerjaan. Namun, aku tidak bisa menutup mata dari kebutuhan sehingga mau tidak mau, aku membungkam protes hati dan membiarkan wanita-wanita kesepian yang punya banyak uang menikmati tubuhku.

"Table lima. She's hot, by the way. Dia khusus request lo, malah nawarin bayar dua kali lipat kalau lo mau ikut ke hotelnya." Max menunjuk ke balik punggung.

Berbeda denganku, Max tidak bermasalah dengan uang. Dia datang ke Bali dan membuka bar di daerah Seminyak, dan setiap minggu mengadakan Strip Night untuk memuaskan keinginannya sebagai stripper. Dia memilih jalan yang sama denganku, meski motivasinya bukan uang. Entah apa yang ada di otaknya, aku tidak akan pernah bisa mengerti.

"Firasat gue, dia bisa jadi langganan. Jadi, buang jauh-jauh muka nyebelin lo itu dan puasin dia. Easy money, Bro!"

Itu slogan Max. Dia tahu betapa putus asanya aku kalau menyangkut uang. Aku rela melakukan apa saja demi uang.

Dan, itulah yang membuatku menuju perempuan tersebut. Dia duduk membelakangiku. Rambut hitam bergelombang, gaun sequin biru yang pas di tubuhnya. Sejenak, ingatanku malah mengingat Stephanie.

Stupid. She's just a fantasy.

Malah aku ragu kalau Stephanie benar ada. Kalau saja dia tidak muncul di Magdalene, aku sudah menganggapnya bagian dari halusinasi.

Perempuan itu bukan Stephanie. Dia cantik, tapi bukan Stephanie.

Selama satu jam, aku menemaninya. Fungsiku hanya menyediakan telinga untuk mendengarkannya, mendukungnya di saat tertentu, memujinya agar dia lupa tujuannya datang ke bar ini dan membayar jasaku.

Tiga bulan mendalami profesi ini, aku sering bertemu perempuan seperti ini. Perempuan yang terjebak dalam hidup yang tidak diinginkan, tapi tidak tahu cara keluar dari kungkungan tersebut. Kali ini, aku berhadapan dengan korban perjodohan yang kesepian. Sang suami belum move on dari mantan sehingga tidak pernah menyentuhnya. Aku tidak bisa mengusir rasa simpati saat mendengar ceritanya. Seharusnya dia bisa mengakhiri penderitaannya. Keluar dari pernikahan itu. Mencari kebahagiaannya, atau setidaknya seseorang yang bisa menghargainya. Namun, dia tidak ingin kehilangan harta sehingga rela mengebiri kebahagiaan.

Yes, I'd rather cry in my Audi rather than walking around the street like a homeless.

Who am I kidding?

"Kamu mau menemaniku malam ini?" Dia menatapku penuh harap.

Lagi, tanpa bisa dicegah, aku teringat Stephanie. Perempuan ini bukan Stephanie, tapi yang ada di mataku hanyalah raut sedih di wajah cantik itu.

Yes, DarlingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang