TYPO KOREKSI
VOTE GAYSS
________________Mahesta menuntun Andara untuk duduk di sofa dengan lembut, seolah-olah ia menangani kaca rapuh yang bisa pecah kapan saja. "Duduk dulu, Andara. Saya ambilkan air putih buat kamu," katanya dengan suara menenangkan. Ia mengambil segelas air putih dari dapur kecil di sudut ruangan, bertujuan agar Andara bisa tenang dan meredakan emosinya yang memuncak.
"Minum ini dulu, mungkin bisa bantu kamu merasa lebih baik," ujar Mahesta sambil menyerahkan gelas itu.
"Gue gak kuat, Mahesta," Andara mulai menangis lagi, air matanya mengalir deras seperti air sungai yang tak terbendung. Kesedihannya tampak begitu mendalam hingga membuat Mahesta merasa kebingungan dan tidak tahu harus berbuat apa.
Mahesta, yang belum pernah menghibur wanita yang sedang menangis, merasa canggung. "Saya benar-benar gak tahu harus bagaimana," pikirnya. Se tampan-tampannya Mahesta, dia belum pernah mempunyai pacar. Tidak ada satu pun yang berhasil mengambil hatinya. "Menghibur seseorang ternyata jauh lebih sulit dari pada yang saya kira," gumamnya dalam hati.
"Sudah Andara, bagaimana jika air mata kamu habis," kata Mahesta dengan nada canggung, berusaha menghibur meski merasa kaku.
"Lo gila, air mata gak akan pernah habis," jawab Andara dengan nada kesal, air matanya tetap mengalir deras.
"Hmm," Mahesta hanya bisa mendesah, tidak tahu harus berkata apa lagi.
Andara menangis kembali, namun beberapa detik kemudian dia berkata, "Mahesta, lo bisa bantu gue gak?" sambil membulatkan matanya dengan penuh harap.
"Bantu apa?" tanya Mahesta, sedikit curiga namun tetap ingin membantu.
"Gue sering lihat drama thriller, kalau membunuh adalah satu-satunya jalan menuju kemenangan," ucap Andara dengan suara yang terdengar serius. "Gue gak tahu harus gimana lagi," lanjutnya dengan tatapan kosong.
"Terus?" Mahesta merasa penasaran dan khawatir dengan arah pembicaraan ini.
"Bantu gue buat membunuh orang tua gue," ucap Andara dengan pikiran buruknya. Mahesta yang mendengar kata itu langsung terkejut, tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
Mahesta menjongkok di hadapan Andara yang lagi duduk, menatapnya dengan serius. "Andara, membunuh itu bukan satu-satunya jalan untuk menuju kemenangan, bisa juga jalan untuk menuju penjara," kata Mahesta menasihati, mencoba meredam pikiran buruk Andara meski ia sendiri merasa kaget.
"Tapi..." Andara mencoba membantah, air matanya kembali mengalir.
"Kenapa kamu berpikiran buruk seperti itu? Seburuk-buruknya orang tua, dia tetap orang tua kamu, hanya kamu yang bisa merubah sikap mereka," lanjut Mahesta dengan suara lembut namun tegas.
Andara menundukkan kepalanya dan mulai menangis lagi. "Lo gak tahu betapa beratnya hidup gue," katanya sambil terisak. Lalu, dengan tangan gemetar, dia membuka kancing kemejanya, memperlihatkan bekas-bekas luka ulah orang tuanya. "Lihat ini, bekas ini gak akan bisa hilang Mahesta," ucapnya sambil menunjukkan bekas luka yang terlihat sangat lembab hingga berwarna abu-abu, juga ada bekas goresan. "Ini semua bukti penderitaan gue," lanjutnya dengan suara bergetar.
Mahesta terkejut untuk kedua kalinya, bukan hanya karena bekas lukanya, tetapi juga karena Andara dengan entengnya membuka pakaiannya tanpa diminta. "Saya benar-benar tidak tahu harus berkata apa," pikirnya dalam hati. Mahesta pun hanya melihat bekas lukanya, tidak mempunyai niatan untuk melihat yang lainnya. "Ini sangat parah," katanya dalam hati.
"Kalau sama orang lain jangan gini, lelaki sekarang semuanya berengsek," Mahesta menutup kancing kemeja Andara satu-persatu dengan hati-hati, ingin melindungi martabatnya.
Andara mulai berdiri dari tempat duduknya, "Oke," katanya dengan suara pelan.
"Oke apa?" tanya Mahesta, merasa ada sesuatu yang Andara sembunyikan.
"Ada yang lebih sedih dari kejadian tadi," ucap Andara, membuat Mahesta berpikir keras tentang apa yang dimaksud.
"Apa lagi?" tanya Mahesta, merasa penasaran.
"PR fisika gue belum selesai," Andara mulai menangis lagi, mengingat betapa sulitnya mata pelajaran itu bagi dirinya. "Ini semua terasa begitu berat," katanya sambil mengusap air mata. Dia tidak begitu pintar dalam berhitung; mata pelajaran apapun yang ada angkanya, Andara tidak bisa menguasainya. "Gue benci angka," gumamnya.
"Lena tadi nge-chat sebelum gue ke sini, katanya pas sekarang gue gak masuk sekolah, malah banyak tugas," ucap Andara sambil mengeluh. "Coba gue masuk, pasti bisa nyontek," lanjutnya dengan nada bangga yang terselip di antara tangisannya.
"Kalau kamu masuk, sakit kamu makin parah. Ayo," kata Mahesta, mengambil keputusan.
"Kemana?" tanya Andara, bingung dengan ajakan Mahesta.
"Ke unit kamu," jawab Mahesta tegas.
"Ngapain?" Andara masih bertanya-tanya, tidak mengerti maksud Mahesta.
"Gak usah banyak bertanya," Mahesta mulai menggandeng tangan Andara, membimbingnya dengan penuh kepastian. Andara pun mengikuti tanpa banyak bicara.
Sesampainya di unit Andara, Mahesta sangat tidak suka melihat keadaan unit Andara yang berantakan. "Kenapa? Berantakan ya hehe," kata Andara dengan cengiran, mencoba menyembunyikan rasa malunya.
"Tadi pagi kayaknya tidak seperti ini, sekarang kenapa jadi begini?" tanya Mahesta dengan nada penasaran dan sedikit jengkel.
"Kepo, jadi lo mau apa ngikut ke unit gue," kata Andara, sedikit kesal dengan pertanyaan Mahesta.
"Mau bantu mengerjakan tugas fisika kamu, sini mana bukunya," Mahesta mulai duduk, bersiap untuk memastikan otaknya lancar saat mengerjakan fisika.
Andara terlihat senang, dia pergi ke kamar untuk mengambil bukunya. "Emang lo bisa? Lo kan sudah tua, pasti lupa soal beginian," Andara pun menunjukkan soal-soal fisika tersebut.
"Sudah berapa kali saya bilang, saya masih muda," Mahesta mulai melihat soal-soal itu. "Sini, duduk," Mahesta mengajak Andara untuk duduk di sampingnya agar Andara bisa fokus mendengar sambil melihat.
Nyatanya, tidak seperti itu. Saat Mahesta meminta Andara untuk duduk dekat di sampingnya, yang Andara lihat bukanlah buku tugasnya, melainkan ketampanan wajah Mahesta. "Ganteng banget kalau deket gini, udah ganteng, pinter lagi," batin Andara, dia senyum-senyum sendiri seperti orang gila.
"Kenapa liatin saya begitu," ucap Mahesta, padahal dia tidak menoleh ke Andara karena fokus menjelaskan tetapi dia tahu bahwa Andara tersenyum padanya.
"Tampan? Saya memang tampan dari sebelum membentuk zigot," tambah Mahesta dengan sedikit humor untuk mencairkan suasana.
"Apaan sih, geer banget," Andara pun mulai mendengarkan Mahesta lagi, namun karena muaknya dengan fisika, Andara tertidur saat diajar.
"Andara ngerti?" tanya Mahesta, namun tidak ada sahutan. "Andar–" Mahesta melihat Andara yang tertidur pulas dengan tangan sebagai bantalnya.
"Bagaimana bisa kamu tertidur di saat tugas sekolah kamu belum selesai," Mahesta pun mulai menggendong Andara ala bridal dan memasukkan nya ke dalam kamar tidurnya.
Setelah itu, Mahesta pun melanjutkan tugas sekolah Andara hingga semuanya selesai. Saat Mahesta hendak keluar dari unit, dia melihat keadaan unit Andara yang begitu berantakan.
Mahesta tidak jadi pulang ke unitnya, dan mulai membereskan agar unit Andara terlihat rapi kembali. Mahesta terasa lelah, namun akhirnya semuanya sudah terlihat rapi. Mahesta berbaring di sofa dan tak sengaja tertidur sangat pulas.
________________
MAAF, KARENA DI BAB YANG INI BANYAK DIALOG NYA
SUPPORT AKU TERUS
💗💗💗
KAMU SEDANG MEMBACA
FATED ENCHANTMENT
Ficção Adolescente-Andai masalah semudah yupi untuk ditelan. Andara Lova Gaurika, gadis remaja dikepung ribuan masalah yang mengalir dari masa lalu dan masa kini, seperti ombak yang tak pernah berhenti menghempas. Mahesta Kastara Adiwangsa, seorang pria yang dibenci...