62. DREAM

132 9 1
                                    

Beberapa jam berlalu seperti mimpi buruk yang tak berkesudahan. Mahesta terus berdoa, matanya tak pernah lepas dari pintu ruang operasi. Hingga akhirnya, pintu itu terbuka, dan seorang dokter keluar dengan wajah serius.

"Pak Mahesta," dokter itu memulai dengan nada lembut namun tegas, "kami telah melakukan yang terbaik. Bayi Anda lahir dengan selamat, seorang bayi perempuan yang sehat."

Rasa lega yang luar biasa sempat melanda Mahesta saat mendengar kabar bahwa bayinya selamat. Namun, senyuman yang mulai terbentuk di wajahnya segera pudar ketika dia melihat ekspresi dokter yang tampak berat untuk melanjutkan.

"Tapi... kondisi istri Anda, Andara, mengalami komplikasi yang serius selama persalinan. Pendarahannya terlalu banyak, dan meskipun kami sudah berusaha sekuat tenaga, kami... tidak bisa menyelamatkannya."

Dunia Mahesta seketika runtuh. Kata-kata dokter itu menghantamnya seperti badai yang tak tertahankan. "Tidak... tidak mungkin," bisiknya, suaranya hampir tak terdengar. Dia merasa seperti seluruh napasnya diambil paksa dari tubuhnya. Tangannya gemetar, dan matanya berkaca-kaca, menolak untuk menerima kenyataan yang baru saja ia dengar.

Dokter itu menundukkan kepalanya, penuh empati. "Saya sangat menyesal, Pak Mahesta. Istri Anda adalah seorang pejuang yang luar biasa. Dia berjuang hingga akhir demi bayi kalian."

Mahesta jatuh terduduk di kursi, wajahnya tertunduk dalam kepedihan yang mendalam. Tangannya mengepal kuat, tapi tak ada yang bisa ia lakukan untuk mengubah apa yang sudah terjadi. Andara, wanita yang ia cintai lebih dari apa pun, telah pergi—memberikan hidupnya demi kehidupan baru yang mereka ciptakan bersama.

Dengan langkah berat, Mahesta akhirnya memasuki ruang bersalin, di mana dia melihat bayi perempuannya yang baru lahir. Bayi itu dibungkus dengan selimut hangat, tidur dengan tenang, tak menyadari tragedi yang baru saja terjadi. Air mata mengalir di pipi Mahesta saat dia mendekati tempat tidur Andara yang kini telah terbaring dalam ketenangan abadi. Dia memegang tangan Andara yang dingin, matanya menatap wajah wanita yang telah memberikan segala-galanya untuk keluarga mereka.

"Kamu berjanji untuk tidak meninggalkan saya Andara, mana janji kamu?" bisiknya dengan suara serak, air mata tak terbendung lagi. Di lubuk hatinya, Mahesta tahu bahwa kehilangan Andara adalah luka yang akan selalu ada, sebuah bagian dari dirinya yang tak akan pernah bisa digantikan.

Setelah menerima kenyataan yang begitu berat, Mahesta berdiri di samping tempat tidur rumah sakit, memandangi bayi perempuan yang kini menjadi pusat dunianya. Di balik kesedihan mendalam yang menyelimuti hatinya, dia tahu ada satu hal lagi yang harus ia lakukan. Dengan tangan gemetar, Mahesta merogoh sakunya dan mengeluarkan ponselnya. Ia tahu bahwa dia harus mengabari Lova, ibu Andara, tentang kejadian yang baru saja terjadi.

Mahesta menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri sebelum akhirnya menekan nomor Lova. Di kepalanya, berbagai macam skenario tentang bagaimana mengabarkan berita ini kepada Lova berputar, tapi tak ada satu pun yang terasa benar. Ketika dering pertama terdengar, jantung Mahesta mulai berdegup kencang.

Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, suara Lova terdengar di ujung telepon. "Halo, Mahesta? Andara habis buang sampah, kok nggak balik-balik ya? apa sama kamu?"

Mahesta terdiam sejenak, mencoba mencari kata-kata yang tepat, tapi rasa sakit di dadanya membuatnya sulit untuk berbicara. "Andara...," suaranya pecah, dia terpaksa menghentikan kata-katanya untuk menahan tangis yang mulai menyeruak.

Di sisi lain telepon, Lova merasakan ada yang tidak beres. Suara Mahesta yang biasanya tegar, kini terdengar rapuh dan penuh kepedihan. "Mahesta, ada apa? Andara baik-baik saja, kan? Katakan sesuatu!" desaknya, nada suaranya berubah panik.

FATED ENCHANTMENTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang