10. KETEGANGAN

372 42 2
                                    

VOTE DULU
FOLLOW JUGA YAA
TYPO KOREKSII

___________________

Reizar memasuki apartemen tersebut dengan langkah mantap, menyusuri lobi yang berdesain modern dan elegan. Dinding-dindingnya dihiasi karya seni kontemporer, dan lampu-lampu gantung berkilauan menerangi ruangan dengan cahaya lembut. Dia mendekati meja resepsionis yang dijaga oleh seorang wanita muda berpenampilan rapi. Dia menatapnya dengan mata penuh tekad, menghela napas dalam sebelum berbicara.

"Selamat sore, Pak. Ada yang bisa saya bantu?" tanya resepsionis dengan senyum profesional yang menghangatkan suasana.

"Saya mencari unit atas nama Andara Lova Gaurika. Bisa Anda bantu?" suara Reizar terdengar tegas namun tenang, menggema dengan wibawa di ruangan yang tenang.

Resepsionis itu memeriksa daftar penghuni di komputernya dengan cekatan, jemarinya menari di atas keyboard. "Mohon tunggu sebentar, Pak," ujarnya sambil mengetik dengan cepat, matanya fokus pada layar monitor.

Tak lama kemudian, dia menemukan nama yang dicari. "Baik, Pak. Andara Gandara tinggal di unit 230, lantai tiga," ucapnya dengan nada informatif.

Reizar mengangguk, rasa lega sedikit terlihat di wajahnya yang tegang. "Terima kasih. Apakah Anda bisa memberitahu saya apakah dia ada di apartemen saat ini?" tanyanya dengan harap.

Resepsionis itu menggelengkan kepala dengan lembut. "Maaf, Pak. Kami tidak memiliki informasi mengenai keberadaan penghuni secara real-time. Namun, Anda bisa mencoba langsung ke unitnya," jawabnya dengan sopan.

Reizar mengangguk sekali lagi, mengucapkan terima kasih dengan nada yang rendah. "Terima kasih atas bantuannya," katanya sambil berbalik, siap melanjutkan pencariannya.

Sebelum beranjak pergi, resepsionis itu menambahkan dengan ramah, "Jika Anda memerlukan bantuan lebih lanjut, jangan ragu untuk menghubungi kami, Pak."

Reizar hanya memberikan anggukan kecil sebagai tanda terima kasih, lalu berjalan menuju lift dengan langkah cepat, bayangannya terpantul di dinding kaca di sekitarnya. Dia berharap segera menemukan putrinya.

****

Setelah Andara mengobati Mahesta, dia menyadari Mahesta yang ketiduran. Dengan langkah pelan, Andara mencoba keluar dari unitnya, menghindari suara yang mungkin membangunkan Mahesta. Cahaya remang-remang dari lampu di luar memberikan bayangan samar pada wajah Mahesta yang tampak damai. Namun, saat terhitung empat langkah kakinya, tiba-tiba Mahesta terbangun, seperti terjaga dari mimpi buruk.

"Mau kemana?" tanya Mahesta dengan suara serak, matanya masih setengah terpejam, berusaha memahami situasi di sekelilingnya.

"Mau balik ke unit gue lah," jawab Andara singkat, berusaha tak membuat suara, menahan ketegangan dalam suaranya.

"Tunggu, saya temani," Mahesta mulai memakai bajunya kembali, rasa kantuknya hilang seketika. Dia lalu mengikuti Andara dari belakang, langkahnya mantap meski hatinya penuh kekhawatiran.

Saat Andara membuka pintu unit Mahesta, tiba-tiba dia berpapasan dengan pria paruh baya yang sangat dia kenali. Pria itu melewati Andara dengan tatapan yang tajam, seperti elang yang mengawasi mangsanya. Andara terdiam, mematung, jantungnya berdetak kencang. Mahesta yang heran pun langsung maju di samping Andara, menatap pria itu dengan curiga.

"Siapa?" tanya Mahesta, bingung melihat reaksi Andara yang begitu tegang.

Tidak ada jawaban dari Andara. Dia hanya menunduk dan membalikkan wajahnya tepat di dada Mahesta. Tubuhnya gemetaran ketakutan, seakan seluruh dunia runtuh di sekelilingnya. Tangan Mahesta pun, tanpa sadar, merangkul Andara, mencoba menenangkannya dengan pelukan yang hangat.

Pria itu mendengar ucapan Mahesta, akhirnya berbalik badan. Pria itu sepertinya mengenali postur tubuh Andara dari belakang, menelusuri setiap garis tubuhnya dengan mata penuh teka-teki.

Pria itu mendekat ke arah Mahesta, dan bertanya, "Siapa anak ini? Boleh saya lihat wajahnya?" Suaranya terdengar penuh otoritas, seperti orang yang terbiasa mengendalikan situasi.

Mahesta menatap pria itu dengan curiga. "Ada hak apa anda?" ucapnya dengan nada dingin, matanya menyorotkan ketegasan.

"Saya hanya penasaran, karena sepertinya saya kenal dengan anak ini," ujar pria itu, suaranya mulai melembut, namun tetap menyiratkan keinginan untuk mendominasi.

Andara menahan tangisannya. Dia sudah tidak tahan lagi, akhirnya pun berbalik badan, memperlihatkan wajahnya yang penuh luka emosional.

"Andara," ucap pria itu dengan lega. Pria itu melihat dari atas rambut Andara sampai ke ujung kakinya. "Akhirnya saya menemukan kamu, Andara," suaranya terdengar seperti menemukan harta yang hilang.

Mahesta mengerutkan keningnya, bingung. Apakah ini benar ayah Andara? Mahesta tidak berani ikut campur masalah keluarga, akhirnya dia diam saja, mendengarkan percakapan mereka dengan hati-hati.

"Ayo pulang, Andara. Kita semua rindu sama kamu," bujuk pria itu, nadanya penuh dengan harapan.

"Tidak!" ucap Andara tegas, matanya menyala dengan kemarahan yang terpendam. Dia hendak pergi meninggalkan dua orang itu, namun tangannya langsung dipegang oleh Reizar, membuatnya semakin panik.

"Lepaskan, Pa," pinta Andara, suaranya bergetar, mencerminkan ketakutan yang mendalam.

"Mama ingin minta maaf. Dia sangat terluka, sayang," kata Reizar dengan lembut, mencoba meredakan ketegangan.

"Lalu bagaimana dengan aku? Apa Papa peduli saat aku terluka?" tangisan Andara pecah, matanya merah dan bengkak. Mahesta yang tidak tega, karena ini pertama kali dia melihat Andara menangis hingga seperti itu, merasa hatinya teriris, seakan setiap air mata Andara adalah luka bagi dirinya juga.

"Bapak, jika memang anaknya tidak mau, sebaiknya jangan dipaksa," ujar Mahesta dengan tegas, berusaha melindungi Andara dari bayangan masa lalunya yang menyakitkan.

"Jangan ikut campur masalah saya," Reizar memberi tatapan tajam pada Mahesta. Namun, Mahesta tidak takut. Dia balas menatap dengan ketegasan yang sama, memperlihatkan bahwa dia tidak akan mundur.

Mahesta menyuruh Andara untuk mundur di belakangnya. Dia memasukkan tangannya ke saku celana dan berjalan perlahan mendekati Reizar. "Saya memang tidak suka ikut campur urusan orang lain, tetapi saya juga tidak suka jika ada orang yang suka memaksa," ucap Mahesta dengan tenang namun penuh ancaman, suaranya seperti angin dingin yang menyelinap di antara malam.

Saat Reizar hendak berbicara, Mahesta memotongnya kembali, "Stttt, jangan buat keributan di apartemen saya. Lebih baik bapak keluar dari sini, atau saya yang akan menyeret bapak paksa," nadanya tidak meninggalkan ruang untuk perlawanan.

"Kamu tidak ada sopan santunnya dengan orang tua. Saya akan berusaha membawa Andara kembali ke rumah," Reizar menatap Andara yang ada di belakang punggung Mahesta, lalu pergi meninggalkan keduanya, aura kekalahannya terasa jelas di udara.

"Tenang," Mahesta memeluk Andara erat, merasakan gemetar tubuhnya. Dia tahu bahwa Andara sangat ketakutan. "Masuk," lanjutnya, menuntun Andara untuk masuk ke unitnya lagi. Akhirnya, Andara tidak jadi balik ke unitnya sendiri. Mahesta menutup pintu dengan lembut.

________________

CERITANYA GIMANA NIH?
KASIH PENDAPAT YAA
OHH, JANGAN LUPA VOTE
MAKASIIII
🧚‍♀️🧚‍♀️

FATED ENCHANTMENTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang