52. PAPA REIZAR

77 8 0
                                    

VOTE DAN KOMEN JANGAN LUPA
🍂🍂

Andara, meski masih kebingungan, mengulurkan kelingkingnya dengan senyum tipis. "Iya, janji," katanya sambil menyentuh kelingking Mahesta. "Semua orang harus melanjutkan hidupnya, meski mereka punya segala macam masalah." lanjutnya.

Mahesta menatap Andara dalam-dalam, mencoba menyusun kata-kata yang tepat. "Papa kamu... dia tidak terselamatkan," ucapnya akhirnya, dengan suara yang penuh dengan beban berat.

Andara terdiam, menatap Mahesta dengan ekspresi tidak percaya. "Apaan sih," katanya sambil tertawa kecil, mengira ini hanyalah candaan. Namun tawanya berhenti ketika ia melihat keseriusan di mata Mahesta, yang perlahan mendekat dan merengkuhnya dalam pelukan erat.

Mahesta memeluk Andara seolah ingin melindunginya dari rasa sakit yang tak terhindarkan. Andara, yang awalnya bingung, akhirnya menyadari kenyataan pahit ini. Air mata mulai menetes perlahan dari sudut matanya, seolah tanpa disadari.

"Kamu ngarang, kan?" bisik Andara dalam pelukan Mahesta, berharap itu semua hanyalah mimpi buruk.

Mahesta tak berkata apa-apa lagi, hanya memeluk Andara lebih erat, seolah memohon maaf yang terdalam. "Maaf karena tidak bisa melindungi papa kamu," bisiknya penuh penyesalan.

Tangis Andara pecah, dia tidak bisa menahan rasa sakit itu lagi. Dengan suara lirih, ia akhirnya berkata, "Antarkan aku ke ruangan papa."

Mahesta mengangguk, lalu dengan lembut menuntun Andara keluar dari ruangan, memastikan setiap gerakannya tak akan melukai perut Andara yang masih dijahit.

Ketika mereka keluar, Lena, Marvin, dan Leo menyambut dengan wajah yang penuh kesedihan. Lena, dengan suara lirih, berkata, "Kita sudah tahu, turut berduka cita, Andara."

Leo, yang tak mampu menahan emosinya, maju dan memeluk Andara dengan spontan. Semua yang ada di situ terkejut, namun tak ada yang bisa menghentikan perasaan yang meluap-luap. Andara tidak membalas pelukan itu, hanya menepuk punggung Leo perlahan, seolah menghibur sekaligus menguatkan.

"Ehem," Lena berdehem pelan, cukup untuk membuat Leo tersadar dari tindakannya.

"Maaf," ucap Leo sambil melepas pelukannya, menatap Andara dengan rasa bersalah.

Andara mengangguk dan tersenyum tipis, meski senyum itu tak mampu menyembunyikan kesedihannya. Mahesta kemudian dengan perlahan menuntun Andara menuju ruangan di mana sang ayah terbaring, tanpa pernah bisa bangun lagi.

Saat mereka sudah berada di dalam ruangan yang sunyi dan dipenuhi aura duka itu, Andara perlahan mendekati tempat tidur ayahnya. Tangannya yang gemetar mengelus tangan sang ayah, yang kini terbaring tak berdaya. Air matanya jatuh, menandai rasa kehilangan yang begitu mendalam dan tak terlukiskan. Andara tidak pernah membayangkan akan ada momen seperti ini dalam hidupnya—momen di mana ia harus mengucapkan selamat tinggal kepada satu-satunya sosok yang baru-baru ini kembali mengisi hidupnya.

"Papa..." bisiknya, suara yang bergetar dan nyaris hilang di tengah tangisnya. Mahesta, yang berdiri di sampingnya, hanya bisa mengelus lembut kepala Andara, mencoba memberikan kekuatan yang tersisa di tengah rasa sakit yang tak terucapkan.

Andara menunduk, membiarkan air mata jatuh ke atas tangan ayahnya yang dingin. "Aku nggak sedekat itu sama Papa, tapi Papa tetap Papa aku," katanya lirih, suaranya sarat dengan penyesalan dan cinta yang baru saja dia sadari seberapa besar artinya.

Sementara itu, di luar ruangan, Lena mendekati Leo yang duduk termenung di depan pintu. Wajah Leo tampak keras, namun sorot matanya menyimpan banyak cerita yang belum terucapkan. Lena merasakan kegetiran di udara, begitu tebal hingga sulit untuk diabaikan.

FATED ENCHANTMENTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang