Latihan dimulai dengan langkah-langkah dasar. Mahesta dengan sabar mengajarkan Andara cara meninju yang benar, bagaimana posisi kaki harus tetap stabil, dan bagaimana memfokuskan tenaga pada setiap pukulan. Dia membimbing Andara dengan penuh perhatian, memastikan setiap gerakannya tepat dan kuat.
Andara mengikuti instruksi Mahesta dengan serius. Setiap pukulan yang dia layangkan terasa seperti pelepasan dari segala ketegangan yang selama ini menumpuk di dalam dirinya. Tangannya mengepal erat, mengayun dengan ritme yang mulai terbentuk seiring berjalannya latihan. Setiap kali tinjunya mengenai target, ada sedikit rasa lega yang membuncah di dalam hatinya.
Waktu terus berlalu, dan latihan semakin intens. Mahesta sesekali memberikan arahan sambil memperbaiki posisi tubuh Andara, memastikan dia tetap fokus. Keringat mulai membasahi tubuh Andara, membuat kaos polos yang dikenakannya melekat erat pada kulit. Nafasnya mulai terdengar lebih berat, namun dia terus bertahan, menolak untuk berhenti meskipun rasa lelah mulai menggerogoti.
"Fokus, Andara," kata Mahesta, suaranya tenang namun penuh determinasi. "Bayangkan semua rasa sakit dan ketakutanmu, salurkan semuanya ke dalam pukulanmu."
Andara menggigit bibir bawahnya, menumpahkan segala emosi yang tersisa ke dalam pukulan berikutnya. Tinju itu mengenai sasaran dengan kekuatan yang tak terduga, membuat Mahesta tersenyum kecil, bangga melihat semangat Andara yang tak pernah pudar. Namun, seiring dengan setiap pukulan, Andara bisa merasakan energinya mulai terkuras.
Akhirnya, tubuhnya mulai terasa berat, dan langkah-langkahnya menjadi lambat. Nafasnya terengah-engah, dan tinjunya tidak lagi sekuat sebelumnya. Dia merasakan kakinya mulai goyah, dan dalam satu gerakan terakhir, tinjunya meleset, tidak mengenai target dengan sempurna.
Mahesta, yang memperhatikan setiap gerakan Andara, dengan cepat menyadari bahwa gadis itu telah mencapai batasnya. "Cukup, Andara," katanya dengan nada yang lembut namun tegas, menahan tinju Andara yang berikutnya. "Kamu sudah melakukan yang terbaik. Sekarang waktunya istirahat."
Tubuh Andara hampir tumbang karena kelelahan, hanya bisa mengangguk setuju. Nafasnya masih tersengal-sengal, dan kakinya terasa berat seperti timah. Dengan bantuan Mahesta, dia turun dari ring, kemudian duduk di bangku yang ada di pinggir ruangan. Tubuhnya terasa lemas, dan dia langsung bersandar ke belakang, mencoba mengatur nafasnya yang memburu.
Mahesta mengambil sebotol air dan memberikannya kepada Andara. "Minum ini dulu," katanya lembut. Andara menerimanya dengan tangan yang sedikit gemetar, lalu meneguk air itu dengan rakus. Setiap tetes air yang melewati tenggorokannya membawa sedikit kesejukan, membantu menghilangkan rasa panas dan lelah yang melanda tubuhnya.
Setelah beberapa tegukan, Andara menutup botol itu dan memejamkan matanya, berusaha menenangkan diri. Tubuhnya masih terasa berat, tetapi ada perasaan lega yang mulai merayap ke dalam hatinya. Dia merasa telah melampiaskan sebagian dari beban yang menghimpitnya selama ini.
Mahesta duduk di sampingnya, menatap gadis itu dengan perhatian penuh. "Kamu hebat, Andara," katanya pelan, suaranya penuh dengan kebanggaan. "Tidak semua orang bisa bertahan sejauh ini. Kamu lebih kuat dari yang kamu sadari."
Andara membuka matanya, menatap Mahesta dengan pandangan yang mulai kembali tenang. Meskipun kelelahan, ada kilatan kekuatan baru di dalam matanya. Dia tersenyum tipis, merasa sedikit lebih baik dengan pujian yang Mahesta berikan. "Terima kasih," katanya pelan, sebelum akhirnya menyandarkan kepala ke bahu Mahesta, membiarkan dirinya beristirahat sejenak.
ting
Bunyi notifikasi yang nyaring dari ponsel Andara memecah keheningan di antara mereka. Dia menghela napas dalam-dalam, "Apalagi kali ini," gumamnya pelan sambil meraih ponselnya yang tergeletak di sampingnya. Saat layar menyala, sebuah pesan dari Reizar muncul, membuat alis Andara sedikit berkerut.
KAMU SEDANG MEMBACA
FATED ENCHANTMENT
Teen Fiction-Andai masalah semudah yupi untuk ditelan. Andara Lova Gaurika, gadis remaja dikepung ribuan masalah yang mengalir dari masa lalu dan masa kini, seperti ombak yang tak pernah berhenti menghempas. Mahesta Kastara Adiwangsa, seorang pria yang dibenci...