24. PERTENGKARAN

216 42 2
                                    

VOTE VOTE VOTE
BERI DUKUNGAN KEPADA AKU
TERIMAKASIH
💗💗💗

______________

Tengah malam, Andara baru sampai di unitnya. Dia mengajak Lova, mamanya, untuk menginap di apartemennya. Langkahnya berat dan lelah saat ia memencet sandi pintu agar bisa terbuka. Saat pintu terbuka, mereka disambut oleh keheningan malam yang mendalam.

Lova terkejut melihat seorang laki-laki duduk di sofa, menunggu dengan cemas. "Siapa kamu?" tanyanya dengan nada waspada.

Laki-laki itu adalah Mahesta, yang sudah khawatir sejak Andara tidak pulang-pulang. Mahesta tidak menanggapi pertanyaan Lova. Sebaliknya, ia langsung fokus pada Andara yang terlihat begitu lelah dan terpukul.

Andara dengan lembut menuntun mamanya menuju kamar. "Mama tidur aja ya, Mama mungkin lelah hari ini," ucapnya, suaranya penuh kehangatan dan keprihatinan.

Lova mengangguk dan masuk ke kamar, mencoba mengabaikan keberadaan lelaki asing yang baru saja ia tanyai. Pikirannya masih dipenuhi oleh peristiwa tragis hari ini, dan ia terlalu lelah untuk memikirkan hal lain.

Mahesta tetap duduk di sofa, matanya mengikuti setiap gerakan Andara dengan kekhawatiran yang nyata. Andara menutup pintu kamar mamanya dengan pelan, kemudian berbalik menghadap Mahesta.

Andara mendekat ke Mahesta dengan langkah yang tegas. Tanpa peringatan, dia menampar Mahesta dengan keras. Mahesta terkejut bukan karena rasa sakit dari tamparan itu, tapi karena Andara, yang selalu lembut, tidak pernah melakukan hal seperti ini sebelumnya.

"Lo jahat," ucap Andara dengan suara yang bergetar. "Lo jahat, Mahesta!"

Mahesta menatap Andara dengan bingung. "Kamu marah terhadap wanita tadi?" tanyanya, mengingat perubahan sikap Andara sejak melihatnya di mall bersama wanita lain.

Andara menggeleng, air mata membasahi wajahnya. "Gue gak pernah marah perkara wanita," katanya dengan suara tegas dan terluka.

Mahesta masih bingung. "Terus kenapa kamu menampar saya?"

Andara menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. "Lo lihat di kantor polisi," katanya pelan namun penuh dengan emosi, "Gara-gara lo, papa gue di hukum mati. Gue memang gak suka kehadiran orang tua gue disni, tapi gue gak mau kehilangan dia."

Andara membanting semua barang yang ada di sampingnya, menghamburkan vas bunga dan foto-foto yang terbingkai. Amarahnya meledak, mengisi ruangan dengan suara pecahan kaca dan teriakan pilu. Dia sudah tidak bisa menahan emosinya lagi. "Gue benci sama lo, Mahesta," teriaknya dengan penuh kemarahan dan kesedihan. "Lo buat gue kehilangan orang yang gue sayang."

Mahesta tidak bisa menahan diri lagi. Dia melangkah maju dan memeluk Andara erat-erat, meskipun Andara memberontak dengan seluruh tenaganya. "Siksa saya, jika benar itu kesalahan saya," ucap Mahesta dengan suara lembut namun penuh kepedihan. Pelukannya kuat, mencoba menenangkan badai yang berkecamuk di dalam diri Andara.

"Lepasin," ucap Andara dengan nada datar, kelelahan mengikis kekuatannya, seolah beban dunia ada di pundaknya.

Mahesta tetap memeluknya, tidak ingin membiarkan Andara terpuruk dalam keputusasaan. "Gue merasa dikhianati, bukan oleh musuh, tapi oleh seseorang yang gue anggap spesial dalam hidup," kata Andara, suaranya dipenuhi rasa sakit dan kecewa.

Mahesta menghela napas, mencoba menenangkan diri sebelum berbicara. "Izinkan saya menjelaskan apa yang terjadi," pintanya dengan suara lembut.

Andara menatap Mahesta dengan mata penuh air mata, lalu menggeleng pelan. "Cukup Mahesta, gue gak butuh penjelasan. Gue hanya butuh seseorang yang bisa mencabut tuntutan Papa." ucapnya dengan suara yang hampir patah.

FATED ENCHANTMENTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang