FOLLOW-VOTE
HAPPY READING
🌷🌷Andara membantu Lova dengan hati-hati, melipat dan memasukkan pakaian ke dalam koper besar berwarna biru. Mahesta dan Reizar berada di unit Andara, sibuk dengan tugas masing-masing untuk membantu persiapan kepulangan Lova. Suasana hangat namun penuh kesibukan, seperti perpisahan yang tak terelakkan.
"Mama, besok aku mau mendaki gunung sama teman-teman," ucap Andara tiba-tiba, suaranya terdengar ringan, tetapi ada nada tekad di sana. Tangannya terus bergerak, memasukkan pakaian ke dalam koper, seolah-olah itu adalah hal yang biasa ia lakukan.
Lova menghentikan gerakannya sejenak, menatap putrinya dengan cemas. "Jangan, fisik kamu lemah," katanya dengan nada penuh kasih, tetapi tegas. Kekhawatiran seorang ibu terpancar jelas di matanya.
Andara tersenyum kecil, mencoba menenangkan ibunya. "Nanti kalau capek, aku duduk dulu kok," balasnya dengan nada santai, seolah masalah itu bisa diatasi dengan mudah.
"Kamu ini," Lova mendesah, mencoba menahan rasa frustasinya. "Mama habis ini mau pulang, kamu malah berulah. Kalau capek, siapa yang pijitin?" tanyanya, mencoba meredam rasa khawatirnya dengan humor.
Mendengar itu, Andara dengan polosnya mengarahkan pandangannya ke Mahesta. "Itu," ujarnya sambil menunjuk Mahesta, membuat suasana sedikit lebih ringan.
Reizar, yang sedari tadi terdiam, tiba-tiba angkat bicara. "Kalian itu bukan muhrim," ucapnya dengan nada serius, namun masih tersirat humor di dalamnya.
Andara mengernyit, merasa sedikit terganggu. "Apasih, Papa gak pernah ke sini, sekalinya ke sini malah gitu," jawabnya, mencoba menahan rasa kesal. Perkataan ayahnya terasa seperti teguran yang tidak diinginkan.
Tiba-tiba, mata Reizar menangkap sesuatu yang mencurigakan. "Itu cincin dari siapa? Kamu tunangan?" tanyanya dengan nada penasaran, matanya tertuju pada tangan kiri Andara yang mengenakan cincin di jari tengah.
Andara terkejut, refleks menutupi tangan kirinya dengan tangan kanan. "Kepo," balasnya singkat, mencoba menyembunyikan rasa malu. Tapi gesturnya malah semakin menambah kecurigaan.
Reizar tersenyum tipis, ingatan masa mudanya seolah kembali menghampiri. "Dikira Papa gak pernah muda? Saat tunangan, cincin diletakkan di jari tengah tangan kiri. Jangan-jangan..." Ia melirik tangan kiri Mahesta, yang juga mengenakan cincin yang sama. Matanya berbinar, seolah menemukan potongan puzzle yang hilang.
"Gak salah lagi," gumam Reizar, akhirnya menyerah pada kenyataan yang terlihat di depan matanya. Dia memandang putri tercintanya dengan campuran rasa kaget dan senang, merasa sedikit kalah dalam permainan yang belum sepenuhnya dipahaminya.
Mahesta dan Andara saling bertatapan dengan pandangan kosong ketika mendengar pernyataan Reizar. Ruangan itu seakan terhenti sejenak, menahan napas dalam hening. Suasana canggung tercipta, seolah-olah rahasia yang tersembunyi lama akhirnya terungkap.
"Maaf, karena saya tidak memberitahu kalian soal ini," Mahesta akhirnya angkat bicara, suaranya terdengar penuh penyesalan. Tatapannya berpindah dari Reizar ke Andara, mencoba mencari pemahaman di balik ekspresi mereka yang terkejut.
Reizar menghela napas, lalu menatap Mahesta dengan pandangan tegas. "Lain kali jangan begitu ya," ujarnya, nada suaranya tegas namun tidak keras. Ada senyum tipis di sudut bibirnya, menunjukkan bahwa ia tidak sepenuhnya marah. Lova, yang sedari tadi terdiam, tiba-tiba tertawa kecil, meredakan ketegangan yang ada.
"Biarin, Pa. Sudah dewasa juga putri kita," sahut Lova dengan nada lembut, pandangannya beralih pada Andara. Ada kebanggaan tersirat dalam kata-katanya, seolah-olah ia baru saja menyadari betapa cepat putrinya tumbuh dewasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
FATED ENCHANTMENT
Teen Fiction-Andai masalah semudah yupi untuk ditelan. Andara Lova Gaurika, gadis remaja dikepung ribuan masalah yang mengalir dari masa lalu dan masa kini, seperti ombak yang tak pernah berhenti menghempas. Mahesta Kastara Adiwangsa, seorang pria yang dibenci...