51. DIRUMAH SAKIT 2

82 6 0
                                    

VOTE DULU, BARU BACA

🧚‍♀️🧚‍♀️🧚‍♀️🧚‍♀️


Andara terbaring di ranjang rumah sakit, cahaya matahari lembut menembus tirai tipis dan menerangi wajah pucatnya. Di sampingnya, Mahesta tetap setia duduk, menemaninya dalam diam yang penuh makna. Ketika pintu ruangan itu berderit pelan, Andara dan Mahesta serempak menoleh, melihat Leo masuk dengan langkah ragu, membawa kantong makanan di tangannya.

"Maaf kalau ganggu," suara Leo terdengar lembut, sedikit parau, seolah menahan sesuatu. Ia berjalan mendekati Mahesta, menyerahkan kantong itu. "Ini buat lo," katanya dengan nada yang hampir berbisik.

Mahesta menerima makanan itu tanpa banyak bicara. Namun, ketika Leo berbalik untuk pergi, Mahesta memanggilnya dengan suara tenang tapi tegas. "Leo," panggilnya, membuat Leo berhenti dan menoleh ke belakang. "Saya keluar sebentar. Kamu bisa temani Andara selama saya nggak ada."

Mahesta sengaja memberikan waktu bagi mereka berdua. Dengan langkah pelan, ia meninggalkan ruangan itu, menyisakan keheningan yang terasa begitu berat di antara Andara dan Leo.

Leo duduk di kursi yang tadi telah diduduki oleh Mahesta, matanya yang sayu menatap Andara dengan perasaan bersalah yang mendalam. "Maaf," bisiknya, suaranya nyaris tenggelam dalam keheningan ruangan itu. "Seharusnya gue nggak ngasih tahu lo."

Andara menghela napas, menahan nyeri yang menjalar dari perutnya yang masih terasa perih akibat jahitan. "Lo nggak salah, Leo," katanya pelan, tapi pasti. "Nggak ada yang salah di sini." Matanya yang redup namun penuh keteguhan menatap Leo, seolah mencoba meredakan beban yang tergambar di wajah sahabatnya itu.

Dengan suara yang hampir tersendat, Andara melanjutkan, "Terima kasih, karena lo nggak pernah sembunyiin rahasia dari gue. Apapun yang lo dengar, tolong kasih tahu gue, ya."

Leo menggelengkan kepala, menunduk dalam-dalam, seolah menyembunyikan rasa penyesalan yang teramat dalam. "Mulai hari ini, nggak lagi," ucapnya dengan suara serak. "Gue menyesal, gara-gara gue lo jadi kayak gini, Andara."

"Andara," suaranya terdengar lirih, hampir seperti bisikan angin yang lembut namun menyakitkan. Mendengar namanya disebut dengan begitu penuh perasaan, Andara pun menoleh, menatap Leo yang tampak terbebani oleh perasaannya sendiri.

"Gue selalu mencoba untuk melupakan lo," lanjut Leo, suaranya terdengar getir, seperti menyimpan kepedihan yang ia tahan selama ini. "Tapi nyatanya, semua itu sia-sia. Gue tahu hati lo cuma milik orang lain, memang sakit mendengar itu. Tapi, entah kenapa, gue tetap cinta sama lo, Andara."

Andara menghela napas panjang, berusaha menenangkan hatinya yang juga berkecamuk. Dengan perlahan, meski tangan kirinya terhubung dengan selang infus, ia mencoba meraih tangan Leo. Sentuhan itu terasa hangat, namun sarat dengan rasa kehilangan.

"Leo," suara Andara mengalun lembut, namun dengan keteguhan yang terselip di setiap kata. "Hentikan, lepaskan bayangan gue dari benak lo, dan biarkan gue menjadi kenangan yang perlahan pudar."

Leo menatap Andara dengan mata yang penuh keputusasaan, tetapi di balik semua itu, ada cinta yang tak terucapkan. Namun, Andara tak ingin membiarkan Leo terperangkap dalam perasaan itu lebih lama. "Di luar sana, ada seseorang yang menanti cinta lo,"

Leo menggelengkan kepala, menunduk sejenak, seolah mencoba menahan air mata yang hampir jatuh. "Cinta nggak bisa dipaksa," jawabnya dengan suara yang terputus-putus, seakan-akan hatinya berbicara melalui bibirnya yang bergetar.

Andara mengangguk pelan, mengerti betul perasaan yang sedang melanda Leo. "Gue tahu," ucapnya, suara lembutnya menyelimuti ruangan yang sunyi itu. "Tapi, cobalah buka hati untuk seseorang yang mencintai lo. gue yakin, seiring waktu, lo bakal ngelupain gue."

FATED ENCHANTMENTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang