4. KEDEKATAN?

844 62 5
                                    

🧚‍♀TYPO KOREKSI🧚‍♀️

****

Setelah pertemuan selesai, Andara keluar dari ruangan kepala sekolah dengan perasaan lega dan penuh antusiasme. Ia berjalan menyusuri koridor sekolah, memandangi sekeliling dengan perasaan senang. Di sinilah babak baru hidupnya akan dimulai, dan ia siap untuk menghadapi segala tantangan dan kesempatan yang akan datang.

Dengan senyum yang tak bisa ditahan, Andara melangkah keluar dari gedung sekolah, siap untuk hari-hari yang akan datang di SMA Maju Sejahtera. Besok adalah awal yang baru, dan ia berjanji pada dirinya sendiri untuk membuatnya berarti.

Tiba-tiba suara perut Andara berbunyi menandakan dirinya sedang lapar "Perut gue bunyi, padahal tadi sudah sarapan di rumah," Ia memutuskan untuk pergi ke restoran terdekat untuk makan siang dan merayakan sedikit pencapaiannya. Andara berdiri di tepi jalan, menunggu taksi yang dipesannya. Namun, setelah beberapa lama menunggu, taksi yang dinantikan tak kunjung datang.

Andara merasa cemas, terutama karena kuota internetnya hanya cukup untuk WhatsApp saja, sehingga tidak bisa memeriksa aplikasi pemesanan taksi atau memesan yang baru. Saat dia sedang berusaha mencari solusi, tiba-tiba dia melihat seseorang yang familiar berjalan mendekat, Mahesta.

Mahesta tampak kaget ketika melihat Andara di jalan, tetapi ia berusaha tetap tenang. Andara, yang pada awalnya ragu-ragu, akhirnya memutuskan untuk meminta bantuan.

"Mahesta!" panggil Andara sambil melambaikan tangan.

Mahesta berhenti dan menatap Andara dengan bingung. "Ada apa?" tanyanya, meskipun nada suaranya masih datar seperti biasa.

Andara mendekat, wajahnya menunjukkan sedikit harapan. "Gue mau minta tumpangan ke lo, boleh?" pintanya dengan nada memelas.

Mahesta mengerutkan kening, tampak ragu. "Saya sebenarnya punya urusan lain, kan ada taxi," jawabnya dingin, meskipun ada sedikit rasa bersalah dalam tatapannya.

Andara mendekat, wajahnya menunjukkan sedikit harapan. "Dari tadi gue nungguin taxi, tapi gak ada satu pun yang lewat. Kuota internet gue juga habis, cuma bisa untuk WhatsApp doang. Tolong antarin gue ya please, hanya sebentar saja," pintanya dengan nada memelas.

Mahesta diam sejenak, menimbang-nimbang. Dia bisa melihat bahwa Andara benar-benar dalam kesulitan. Meski awalnya berniat untuk menolak, rasa kasihan akhirnya mengalahkan rasa enggannya.

"Masuk, " katanya akhirnya dengan nada lebih lembut.

Andara tersenyum lega. "Yes, thank's Mahesta."

Mereka berjalan menuju mobil Mahesta yang terparkir di pinggir jalan. Andara duduk di kursi penumpang dan memasang sabuk pengaman. Mahesta menghidupkan mesin mobil dan mereka meluncur ke jalanan.

Selama perjalanan, suasana di dalam mobil terasa canggung. Andara mencoba memecah keheningan dengan berbasa-basi. "Kok garing sih?" tanyanya, berharap bisa membuat percakapan ringan.

Mahesta tak menjawab pertanyaan Andara. "Ini kan lestoran nya," ucap Mahesta, tangannya menunjuk ke arah lestoran.

Andara hanya menganggukkan kepala. Mahesta pun mengarahkan mobil ke tujuan yang disebutkan.

Setelah beberapa menit, mereka tiba di depan restoran yang dituju. Andara melepaskan sabuk pengamannya dan berbalik ke arah Mahesta. "Terimakasih, gue masuk ya,"

Saat Andara melangkah masuk ke restoran, dia merasakan udara dingin dan aroma makanan yang menggugah selera. Dia memilih meja di sudut yang tenang dan segera memesan makanan. Saat sedang menunggu pesanannya tiba, Andara merasa sedikit lebih tenang dan bersemangat menikmati makan siangnya.

Beberapa menit kemudian, pintu restoran terbuka dan Mahesta masuk. Andara yang sedang memandangi menu, terkejut melihat Mahesta berjalan ke arahnya. Wajahnya menunjukkan ekspresi bingung ketika Mahesta mendekat dan berhenti di depan mejanya.

"Lo ngapain kesini?" tanya Andara dengan nada terkejut, suaranya sedikit bergetar.

"Boleh saya duduk di sini?" tanyanya sambil menunjuk kursi kosong di depan Andara, senyum tipis menghiasi wajahnya.

Andara mengangguk, masih sedikit bingung dengan kehadiran Mahesta yang tak terduga. "I-iya," jawabnya dengan senyum ragu, mencoba menutupi kegugupannya.

"Ngapain sih dia ikut-ikutan masuk sini, katanya ada urusan lain" Batin Andara.

Mahesta duduk dan memesan makanan kepada pelayan yang datang menghampirinya. Setelah pelayan pergi, suasana kembali canggung sejenak, seperti ada tembok tak kasat mata di antara mereka. Andara berusaha mencari topik pembicaraan untuk mengatasi keheningan yang mulai terasa menekan.

"Kok orang-orang ngelihatin gue kayak gitu," kata Andara sambil melirik kanan kiri, merasa risih dengan tatapan penasaran dari beberapa pengunjung lain.

Mahesta tersenyum tipis, mencoba menenangkan Andara. "Tidak usah memikirkan orang lain, mereka belum tahu yang sebenarnya," katanya dengan nada santai, seolah mencoba meyakinkan Andara bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Andara mengangguk, "Nah kan, rasanya pingin gue tusuk mata mereka pake sumpit," jawabnya.

Tak lama kemudian, makanan mereka tiba. Andara dan Mahesta mulai makan dengan perlahan. Suasana yang awalnya canggung perlahan mencair saat mereka berbagi cerita tentang diri mereka masing-masing. Andara menceritakan tentang rencananya di sekolah baru.

"Jadi, kenapa kamu pindah sekolah?" tanya Mahesta sambil mengunyah makanannya, penasaran dengan alasan di balik keputusan Andara.

Andara tersenyum, namun senyumnya mengandung beban yang tak terlihat. "Gue punya masalah keluarga. Gue gak bisa cerita ke orang yang baru gue kenal, sorry," jawabnya dengan nada rendah, seolah mencoba menahan emosi.

Mahesta mengangguk setuju, memahami perasaan Andara. "Saya tidak akan memaksa kamu. Semua orang pasti mempunyai masalah dalam keluarganya, jika kamu ingin cerita ke saya, silahkan," katanya dengan penuh empati, memberikan ruang bagi Andara untuk membuka diri kapan pun dia merasa siap.

Saat makan siang selesai, Mahesta menawarkan untuk mengantar Andara pulang ke apartemennya. Awalnya, Andara ragu-ragu, tapi akhirnya dia setuju, merasa bahwa kehadiran Mahesta mungkin bisa sedikit meringankan beban pikirannya.

Mereka berjalan menuju mobil Mahesta yang diparkir tidak jauh dari restoran. Mahesta membuka pintu mobil untuk Andara, menunjukkan sikap yang sopan dan perhatian.

Di dalam mobil, suasana kembali hening sejenak. Mahesta menghidupkan radio, membiarkan musik lembut mengalun, memberikan suasana yang lebih nyaman. Andara menatap ke luar jendela, merenungkan banyak hal yang terjadi dalam beberapa minggu terakhir.

"Thank's, ternyata lo gak sejahat itu," ujar Andara dengan senyum kecil.

"Emang nya saya jahat? Jangan melihat buku dari sampulnya" kata Mahesta, langsung pergi meninggalkan Andara.

Andara mengangguk, "Tapi tetep aja, gue gak boleh suka sama om-om kayak gitu." gumamnya.

_____________

TO BE CONTINUE
JANGAN LUPA VOTE
💗💗💗💗

FATED ENCHANTMENTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang