"Rasa sakit tinjuan tak seberapa dibanding tajamnya kata-kata keluarga sendiri."
-Andara Lova Gaurika.🍂
Andara sempat tertegun sejenak ketika memasuki unit Mahesta. Ini adalah pertama kalinya dia masuk ke dalam unit tersebut, dan dia terkejut dengan betapa rapinya tempat itu. Semua buku tertata rapi, dan susunan perabotannya pun sangat apik, mencerminkan kepribadian yang teratur dan disiplin.
"Jadi, siapa wanita tadi? Gak sopan banget" tanya Andara sambil berjalan menuju sofa yang terlihat sangat empuk.
"Lupakan. kamu sudah sehat? Kenapa berkeliaran," jawab Mahesta dengan nada datar, mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Bahasa lo, lo pikir gue hewan apa berkeliaran? Gua mau ngembaliin jam tangan ini, ketinggalan di unit gue," balas Andara dengan nada kesal, sembari menyerahkan jam tangan tersebut.
"Terimakasih," kata Mahesta sambil menerima jam tangan itu. Saat hendak mengambilnya, Andara melihat telapak tangan Mahesta yang terluka, membuatnya khawatir.
"Lo terluka? Kok bisa? Sini gue obatin" ujar Andara dengan nada prihatin, matanya yang tajam kini penuh dengan kelembutan.
"tidak perlu, saya sudah mengobati nya tadi," jawab Mahesta sambil mengambil minuman untuk Andara. Dalam keadaan gerah, dia tanpa sengaja membuka bajunya, memperlihatkan tubuh kekarnya yang penuh dengan tato dan lebam, seolah mengungkapkan cerita yang belum pernah diceritakannya.
"Buset, tatonya keren. Tapi kenapa lebam semua?" batin Andara, matanya tak bisa lepas dari pemandangan tersebut.
"Itu kenapa badan lo?" tanya Andara sambil mendekati Mahesta dan memegang luka-luka di tubuhnya. Mahesta, yang mudah tergoda oleh sentuhan seseorang, terutama Andara yang mulai menarik hatinya, merasakan detak jantungnya berdegup kencang, mencoba menenangkan diri.
"Ini hanya luka biasa," ucap Mahesta dengan tenang, berharap Andara berhenti menyentuhnya, namun tak bisa menyembunyikan getaran dalam suaranya.
"Luka biasa apa sih? Bentar, gue ambil P3K dulu. Dimana tempatnya?" tanya Andara dengan tekad bulat. Mahesta hanya menunjuk dengan isyarat tangan, dan Andara segera mengambil kotak P3K itu.
"Duduk sini. Tinggalin dulu itu, biar gue aja yang nanti selesaikan," Andara menyuruh Mahesta duduk di sofa, memudahkan dirinya untuk mengobati luka-lukanya. "Rasa sakit tinjuan tak seberapa dibanding tajamnya kata-kata keluarga sendiri." lanjutnya, membuat Mahesta mengangkat satu alisnya.
Dengan penuh perhatian, Andara mulai mengobati luka-luka Mahesta. Tangannya bergerak lembut namun cekatan, memastikan setiap luka dibersihkan dan diberi perawatan yang tepat. Mahesta hanya bisa terdiam, merasa hangat oleh perhatian tulus dari Andara.
"Dalam panas siang ini, saya menemukan satu kebaikan yang jarang kutemui, Andara," gumam Mahesta, matanya perlahan-lahan menutup, menikmati rasa nyaman yang tak biasa.
****
Pria paruh baya berkacamata hitam sepenuhnya, dengan mobil hitam berhiaskan corak naga putih, tanpa sengaja memarkir kendaraannya di depan sebuah sekolah. Kelelahan mencari putrinya yang hilang, dia keluar dari mobil dan bersandar di pintu dengan napas berat, tatapannya tajam mengamati sekitar.
Melihat para siswa-siswi yang pulang karena hari sudah menjelang sore, pria itu berdiri tegap. Penampilannya yang hanya mengenakan kaos kutang hitam, memamerkan dada bidang yang kekar, ditambah dengan tato penuh di lengan kirinya, membuatnya tampak seperti preman jalanan yang menakutkan.
Dengan gerakan yang tenang namun penuh tenaga, dia menyalakan rokoknya dengan korek listrik. Matanya menyapu sekeliling, hingga melihat seorang siswa yang berkendara pelan di depannya. Dengan bahasa isyarat yang tegas, dia menghentikan siswa itu.
"Ada apa? Butuh bantuan?" tanya siswa itu dengan sopan namun waspada. Pemuda yang dihentikan oleh pria paruh baya tersebut adalah Marvin. Marvin turun dari motornya, mendekati pria itu dengan langkah hati-hati.
"Apakah kamu pernah melihat anak ini?" tanya pria itu sambil menunjukkan sebuah foto dengan tangan yang kokoh. Marvin terkejut, karena di dalam foto itu adalah temannya sendiri, Andara, yang sering dia temui di sekolah.
"Om siapa?" Marvin bertanya dengan nada mencurigai, alisnya berkerut.
Pria itu tidak menjawab pertanyaan Marvin. "Jika kamu melihatnya, tolong bawa saya kepada anak ini," ucapnya dengan suara dalam dan penuh tekad. "Saya akan memberi kamu uang sepuluh juta jika kamu mengantarkan saya menemui anak itu," lanjutnya sambil menghisap rokok dengan tenang.
"Buset, banyak banget. Enggak, ini kayaknya orang berbahaya," pikir Marvin dalam hati, keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya.
"Maaf, saya tidak kenal dengan orang ini," jawab Marvin dengan nada tegas, kemudian meninggalkan pria paruh baya itu dan mulai menghidupkan motornya lagi, berharap bisa segera menjauh dari situasi yang mengerikan ini.
Pria paruh baya itu terus bertanya kepada siswa-siswi lainnya dengan nada yang semakin tegas. Marvin, yang belum pergi jauh, sengaja tidak melajukan motornya. Dia berpura-pura membersihkan spionnya, memperhatikan setiap gerakan pria itu.
"Apa kamu mengenal anak ini?" tanya pria itu lagi kepada seorang siswa lain.
"Oh, ini kan Andara. Marvin, bukannya kamu dekat sama anak itu?" teriak seorang siswa kepada Marvin, suaranya lantang dan penuh kepastian.
"Shit," Marvin memberi tatapan tajam kepada siswa itu, matanya berkilat marah.
"Sepertinya Marvin tahu, Pak, karena dia dekat dengan Andara," ujar siswa itu, meninggalkan pria paruh baya itu berdua dengan Marvin, tatapannya penuh tanda tanya.
"Kamu berbohong kepada saya. Sekarang tunjukkan di mana anak ini," ucap pria itu dengan nada yang tidak bisa ditawar.
"Kamu siapa? Kenapa mencari Andara? Jika tidak penting, mending tidak usah," jawab Marvin dengan nada keras, mencoba menahan rasa takutnya.
"SAYA PAPA NYA!!" bentak pria itu kepada Marvin. Marvin terkejut, bukan karena bentakan itu, tetapi karena pria ini ternyata ayah Andara yang selama ini dia dengar dari cerita-cerita Andara.
"I-iya, Om. Maaf," Marvin pun memberi isyarat untuk mengikuti. Pria paruh baya itu mematikan rokoknya, lalu naik ke mobil dengan gesit, mengikuti Marvin dari belakang dengan penuh perhatian.
Setelah sampai di depan apartemen, pria paruh baya itu dengan cekatan memakai jas yang selalu tersedia di mobilnya. Dia tahu menempatkan diri di mana pun berada, menjaga penampilannya tetap rapi. Pria itu keluar dari mobil yang kini berada di halaman depan apartemen bersama Marvin, lalu melempar uang kepada Marvin dengan sikap santai.
"Gak usah, Om. Saya ikhlas nganter Om ke sini," Marvin mengembalikan uang itu dengan tangan gemetar. Marvin anti penyogokan. Dia memang menyukai uang, tetapi tidak dengan uang haram.
"Sok nolak kamu. Saya tidak mau hutang budi sama kamu," ucap pria itu dengan nada datar namun tegas.
"Anu, Om, uangnya diganti sama nama Om aja. Em maksud saya, saya mau tahu nama Om," ujar Marvin dengan sedikit ragu.
"Reizar Gandara Dragons," ucap pria itu dengan tegas.
"Gandara itu Andara ya, Om? Hahaha," canda Marvin, tetapi pria itu langsung melotot ketika Marvin berkata begitu. Nyatanya Marvin benar, nama Andara diambil dari nama ayahnya.
"Maaf, Om Reizar. Kalau gitu saya pamit," Marvin pun menunduk sejenak untuk berpamitan, lalu pergi dari apartemen itu dengan cepat. Dia takut candaannya tadi membawa dirinya ke dalam bahaya.
__________________
JANGAN LUPA VOTE
KOMEN JUGA BOLEH LAH YAA
YANG BELUM FOLLOW AKUN INI, FOLLOW
TYPO? KOREKSI!!
TERIMAKASIH BANYAK-BANYAK
💗💗💗
KAMU SEDANG MEMBACA
FATED ENCHANTMENT
Teen Fiction-Andai masalah semudah yupi untuk ditelan. Andara Lova Gaurika, gadis remaja dikepung ribuan masalah yang mengalir dari masa lalu dan masa kini, seperti ombak yang tak pernah berhenti menghempas. Mahesta Kastara Adiwangsa, seorang pria yang dibenci...