60. POSITIF

164 10 1
                                    

VOTE DULU, BARU BACA.
🧚‍♀️🧚‍♀️🧚‍♀️


Lena yang masih berada di ruangan itu menatap Andara dengan mata yang masih terbelalak. "Gue kaget, lo punya bayi di dalam perut itu," ucapnya, masih tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.

Andara hanya bisa menghela napas panjang. "Ya, mau gimana lagi," jawabnya sambil mencoba mengubah posisinya menjadi duduk. Wajahnya berusaha menunjukkan ketenangan, meski di baliknya tersimpan banyak pikiran yang berkecamuk.

"Lo harus kasih tahu Mahesta," kata Lena sambil mengambil ponsel Andara dari tas. "Biar dia tahu kalau lo di sini."

Namun, Andara segera mencegahnya. "Jangan, gue mau rahasiain dulu tentang bayi ini," ucapnya tegas, tatapannya penuh keyakinan. Lena, meskipun merasa ragu, akhirnya memutuskan untuk mengikuti keinginan sahabatnya.

Dengan tekad yang kuat, Andara berdiri perlahan meski tubuhnya masih terasa lemah. Tanpa mempedulikan peringatan Lena, ia berjalan keluar ruangan, matanya mencari sosok Leo. Ia tahu harus segera berbicara dengan Leo sebelum kesalahpahaman semakin jauh.

Di luar rumah sakit, sinar matahari yang cerah menyinari setiap sudut tempat itu. Andara melihat Leo duduk di kursi panjang di pojok taman rumah sakit, wajahnya penuh dengan keraguan dan kesedihan. Dengan langkah hati-hati, Andara menghampirinya, lalu duduk di sampingnya.

"Hei," sapanya pelan, mencoba memecah keheningan di antara mereka.

Leo menoleh perlahan, tatapannya penuh dengan luka yang tak terucapkan. "Kenapa lo nggak bilang ke gue kalau lo sudah nikah? Kenapa gue harus dengar berita ini dari orang lain?" tanyanya dengan nada penuh kekecewaan, matanya menatap Andara dengan campuran rasa sakit dan kebingungan.

Andara terdiam sejenak, berusaha mencari kata-kata yang tepat. "Sorry, gue..." ucapannya terputus saat Leo memotongnya dengan nada penuh penyesalan.

"Nggak usah minta maaf, ini semua salah gue," kata Leo dengan senyum yang terkesan getir. Tatapannya penuh dengan penyesalan, seolah-olah ia sedang menyalahkan dirinya sendiri atas semua yang terjadi. Andara hanya bisa terdiam, tak tahu harus berkata apa lagi. Mereka berdua duduk di sana, di bawah terik matahari siang, dalam keheningan yang penuh dengan perasaan yang tak terucapkan.

***

Andara melangkah pelan di koridor apartemen, langkah kakinya seakan terhenti saat berada di depan pintu lift yang masih tertutup. Matanya menyapu sekitar, mencari sesuatu yang entah bagaimana seolah lenyap dari ingatannya. Di tengah kerutan di dahinya, ia berbisik lirih, hampir tidak terdengar oleh siapapun.

"Tadi foto bayi gue di mana ya?"

Suara pelan itu seakan memanggil kehadiran seseorang yang tiba-tiba muncul di belakangnya. "Foto bayi?" Mahesta bertanya, dengan nada heran dan penasaran.

Andara terkesiap, dan segera menoleh ke belakang. Tatapannya bertemu dengan wajah Mahesta yang memandangnya penuh tanya. "Eh, nggak," jawab Andara cepat, berusaha menyembunyikan keresahannya.

Mahesta mengangkat alis, sedikit mendekatkan diri dengan langkah tenang. Suaranya melembut, seolah mencoba menembus dinding pertahanan Andara. "Jangan bohong, Andara," ucapnya pelan, namun tegas, seolah ingin mendengar kebenaran dari bibir Andara.

Andara mendesah pelan, akhirnya menatap Mahesta dengan sedikit ragu. Dia mendongak, mencoba membaca ekspresi di wajah Mahesta. "Iya," akhirnya dia mengakui, suaranya nyaris tenggelam. "Aku lagi cari foto bayi."

Mahesta menatapnya dengan intens, alisnya terangkat dalam ekspresi penuh tanda tanya. "Bayi siapa?" tanyanya, setengah mendesak, setengah penasaran.

Andara mendekatkan wajahnya ke arah Mahesta, suaranya semakin mengecil, seakan takut ada yang mendengar rahasia yang hendak ia ungkap. "Kita," bisiknya, begitu pelan hingga hampir tak terdengar.

FATED ENCHANTMENTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang