40. KESERUAN BERSAMA

128 17 0
                                    

VOTE DULU MANIZ
🌷🌷

Saat malam menuju pagi, sekitar jam tiga, Mahesta keluar dari tendanya. Udara malam yang segar menyambutnya dengan kelembutan, mengusir rasa kantuk yang masih tersisa. Ia duduk di batang kayu besar yang tergeletak di tepi perkemahan, membuka bungkus camilan oat yang ia bawa.

Tak lama kemudian, langkah ringan terdengar di belakangnya. "Ngapain?" suara lembut Andara mengusik kesunyian. Mahesta menoleh, melihat Andara berjalan mendekat dari arah tendanya. Gadis itu terlihat lelah namun tetap manis dengan senyum kecil di wajahnya.

"Kamu kok bangun? Ini belum pagi," ucap Mahesta, sedikit heran. Ia menyodorkan camilan oat yang masih tersisa kepada Andara.

Andara mengambilnya, tersenyum kecil. "Aku nggak bisa tidur, banyak nyamuk," keluhnya sambil mengambil tempat di sebelah Mahesta. Udara malam yang dingin tak menghalangi percakapan mereka, sebaliknya, justru mempererat kehangatan yang terjalin di antara keduanya.

Mahesta merogoh tasnya, mengeluarkan sebuah krim kecil. "Saya lupa mengoleskan kamu ini," ucapnya sambil menunjukkan krim anti-nyamuk itu. Dengan hati-hati, ia mulai mengoleskan krim tersebut di tangan dan kaki Andara, gerakannya lembut dan penuh perhatian.

Andara memperhatikan Mahesta dengan senyum di wajahnya. "Sebenernya kamu telat mengolesi ini, sekarang sudah mau pagi," candanya, mengerling dengan mata yang berbinar. Namun, Mahesta hanya tersenyum tenang, matanya berbicara lebih banyak dari kata-kata.

"Tidak ada yang telat," jawab Mahesta dengan suara tenang. Ia merapikan duduknya, kemudian menepuk pundaknya dengan lembut. "Sini, tidur," katanya, menawarkan pundaknya sebagai bantal. Andara menatapnya sejenak, kemudian tanpa ragu, ia bersandar, merasakan kehangatan dari tubuh Mahesta.

"Aku jarang naik gunung," ucap Andara pelan, "bukan jarang sih, lebih tepatnya nggak pernah." Ia menambahkan dengan nada sedikit tertawa. Ada kejujuran dalam pengakuannya, seolah-olah malam itu memberi mereka ruang untuk menjadi lebih dekat, lebih terbuka.

Mahesta menatap langit yang mulai berwarna biru kehitaman, menandakan datangnya fajar. "Karena gampang capek?" tanyanya, sambil merangkul Andara dengan lembut. Sentuhan itu lebih dari sekadar gerakan, itu adalah janji diam-diam untuk selalu ada di sisinya.

Andara mengangguk, masih bersandar pada Mahesta. "Iya, aku selalu dilarang mengikuti kegiatan karena kalau capek, aku selalu ngerengek," katanya sambil tertawa kecil, mengenang masa-masa sulit yang sering ia alami. Ada kehangatan dalam suaranya, seolah momen ini adalah kebebasan dari segala kekangan.

Mahesta tersenyum, menatap Andara dengan lembut. "Tenang aja, nanti kalau capek-capek saya pijatkan," ucapnya dengan nada menggoda, membuat Andara tertawa. Namun, tawa itu segera berubah menjadi keheranan saat Andara bangkit dan menatap Mahesta serius.

"Kata papa, bukan muhrim," ucap Andara dengan nada serius, namun ada senyum jahil di sudut bibirnya. Ia mencoba menjaga jarak, namun Mahesta hanya tersenyum lebih lebar.

"Pijat nggak harus membuka pakaian, kan hanya kaki yang dipijat," jawab Mahesta, menambahkan sedikit canda dalam suaranya. Andara tertawa kecil, merasa sedikit lega. Pagi ini, di bawah langit yang mulai terang, mereka berbagi momen yang tak terlupakan—momen yang diwarnai dengan canda, kehangatan, dan perasaan yang perlahan berkembang.

Waktu berjalan begitu cepat, tanpa disadari matahari telah memanjat langit, menebarkan cahaya keemasan di atas gunung. Andara dan Mahesta tetap duduk di tempat yang sama, menikmati setiap detik kebersamaan mereka. Keheningan pagi hanya dipecahkan oleh suara langkah kaki Marvin yang baru keluar dari tendanya.

"Sejak kapan kalian di sini?" tanyanya heran, berjalan menuju api unggun yang hampir padam untuk menyalakannya kembali dan merebus mi instan.

Andara, dengan senyum cerah yang menyaingi sinar matahari, menjawab, "Sejak tadi." Nada ceria dalam suaranya seolah membawa kehangatan tambahan pada pagi yang dingin itu.

FATED ENCHANTMENTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang