Hatred [ver. 2]

48 7 0
                                    

Malam itu, langit Seoul diterangi bintang-bintang yang berkilauan, seakan memantulkan kebahagiaan yang selalu melingkupi ATEEZ. 

Mereka adalah sekumpulan anak muda yang telah bersatu sebagai keluarga kedua, saling mendukung dan mencintai satu sama lain. Persahabatan mereka terlihat jelas dalam tawa yang mereka bagi, permainan yang mereka mainkan, dan kebersamaan yang mereka rasakan. San, dengan senyum lembutnya, selalu merasa bersyukur memiliki mereka sebagai keluarga keduanya.

Namun, malam itu sesuatu yang berbeda terjadi. Sesuatu yang tak pernah San bayangkan akan keluar dari mulut sahabat-sahabatnya.

San sedang berjalan menuju ruang latihan, langkahnya ringan dan hati dipenuhi rasa syukur. Ia mendengar tawa dan suara bercanda dari balik pintu, dan senyum di wajahnya semakin lebar. Ia selalu menikmati momen-momen bersama mereka, momen yang membuatnya merasa benar-benar hidup.

Namun, ketika ia mendekati pintu, langkahnya terhenti. Ia mendengar namanya disebut dalam nada yang berbeda, nada yang penuh dengan sinisme dan ketidakpedulian. Hatinya berdebar lebih cepat, dan ia mendekatkan telinganya ke pintu, mencoba memahami percakapan yang terjadi di dalam.

“San selalu berpikir dia yang paling bekerja keras di sini,” kata salah satu suara, terdengar seperti suara Wooyoung. “Padahal, kalau dipikir-pikir, dia sering kali malah menghambat kita dengan kepercayaan dirinya yang berlebihan.”

San merasa dadanya sesak. Apakah benar itu Wooyoung? Sahabat yang selalu ia percaya dan sayangi? Ia mendengar suara Yunho menimpali, “Iya, dan cara dia selalu mencoba menarik perhatian itu. Kadang membuat kita terlihat bodoh.”

San mundur beberapa langkah, matanya membelalak tak percaya. Ia ingin berteriak, ingin masuk dan menuntut penjelasan, tapi kakinya terasa berat, dan hatinya semakin terluka. Ia memutar tubuhnya perlahan dan berjalan menjauh, meninggalkan suara-suara yang dulu memberinya kebahagiaan, kini berubah menjadi duri yang menusuk hatinya.

San keluar dari gedung latihan, udara malam yang dingin menyambutnya dengan kasar. Langkahnya gontai, dan setiap langkah terasa seperti beban yang semakin berat. Ia berjalan tanpa tujuan, hanya ingin menjauh dari segala rasa sakit yang baru saja ia alami.

Di tepi sungai Han, San duduk sendirian, menatap air yang berkilauan di bawah cahaya bulan. Air mata yang ia tahan selama ini akhirnya jatuh, membasahi pipinya. Ia merasa begitu hancur, seperti semua kebahagiaan yang pernah ia rasakan hilang begitu saja.

“Kenapa?” bisiknya pada dirinya sendiri. “Kenapa mereka bisa mengatakan hal seperti itu? Apa aku memang seburuk itu?”

Pikiran-pikiran negatif terus mengalir, menghantam perasaannya tanpa ampun. San merasa terasing, sendirian di dunia yang seharusnya penuh dengan kasih sayang dan dukungan.

Tiba-tiba, ia merasakan sebuah tangan lembut menyentuh bahunya. Ia menoleh dan melihat Hongjoong, dengan tatapan penuh perhatian dan kekhawatiran. “San, aku mencarimu kemana-mana. Apa yang terjadi?”

San menunduk, mencoba menyembunyikan air matanya. “Aku... aku hanya butuh waktu sendiri,” jawabnya pelan, suaranya bergetar.

Hongjoong duduk di sampingnya, merangkulnya dengan erat. “San, aku tahu ada yang tidak beres. Ceritakan padaku, kita adalah keluarga.”

San menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan kekuatan untuk berbicara. “Aku mendengar mereka berbicara tentangku, Hongjoong. Mereka mengatakan hal-hal yang... aku tidak pernah sangka akan mereka katakan.”

Hongjoong mengerutkan kening, bingung. “Siapa yang kamu maksud?”

“Wooyoung dan Yunho,” jawab San, suaranya hampir tidak terdengar. “Mereka bilang aku sering menghambat dan selalu mencoba menarik perhatian.”

Hongjoong terdiam sejenak, merenung. “San, mungkin mereka tidak bermaksud begitu. Kadang kita mengatakan hal-hal tanpa berpikir, terutama ketika kita lelah atau stres.”

San menatap Hongjoong dengan mata yang masih berair. “Tapi kenapa mereka harus mengatakan hal itu? Apakah aku benar-benar seperti yang mereka katakan?”

Hongjoong menggenggam tangan San erat-erat. “San, kamu adalah bagian penting dari kita. Kamu membawa energi dan semangat yang luar biasa. Tanpa kamu, kita tidak akan bisa menjadi seperti sekarang. Jangan biarkan kata-kata yang menyakitkan itu merusak kepercayaan dirimu.”

San mengangguk perlahan, merasakan sedikit kelegaan dari kata-kata Hongjoong. “Terima kasih, Hongjoong. Aku hanya butuh waktu untuk memproses semuanya.”

Hongjoong tersenyum hangat, menepuk punggung San. “Aku selalu ada untukmu, San. Kita semua ada untukmu. Jangan pernah ragu untuk berbicara dengan kami.”

Malam itu, di bawah langit yang dipenuhi bintang, San merasa sedikit lebih tenang.

Hari-hari berikutnya, San berusaha lebih keras untuk berkomunikasi dengan anggota lainnya, membuka diri tentang perasaannya dan mendengarkan apa yang mereka rasakan.

Hubungan mereka semakin kuat, dan San belajar bahwa meski kata-kata bisa menyakitkan, cinta dan dukungan dari keluarga kedua ini akan selalu menjadi penopang utamanya.

Sanzzy Episode • All × SanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang