Musik mengguncang rumah besar itu, membuat lantai dan dinding bergetar.
Lampu-lampu berwarna melintas cepat, menciptakan suasana yang semarak dan penuh kehidupan. Para siswa kelas senior berkumpul di sini untuk merayakan salah satu malam terakhir mereka bersama sebelum semua berpisah untuk melanjutkan kehidupan di perguruan tinggi. Tawa dan canda bergema di seluruh ruangan, sementara beberapa orang menari dengan penuh semangat, beberapa lagi menikmati minuman dan bercanda tentang masa depan.
Di tengah keramaian, San berdiri sendirian di pojok ruangan, memegang segelas minuman yang sudah hampir habis. Pandangannya melayang-layang ke seluruh ruangan, melihat teman-temannya yang sedang bersenang-senang. Namun, hatinya terasa berat, seolah ada sesuatu yang tidak beres. Mungkin karena kesadaran bahwa malam ini adalah salah satu momen terakhir mereka bersama. Atau mungkin, ada hal lain yang lebih dalam, lebih personal.
Wooyoung melihat San dari seberang ruangan. Dia memperhatikan temannya yang tampak sedikit terisolasi di tengah pesta. Dengan senyuman kecil di wajahnya, Wooyoung mulai bergerak melewati kerumunan, menuju San. Mereka sudah berteman sejak lama, dan Wooyoung tahu betul bagaimana suasana hati San.
"Hei, kamu baik-baik saja?" Wooyoung bertanya begitu ia sampai di dekat San, mencoba mengalahkan suara musik yang memekakkan telinga.
San menoleh dan tersenyum tipis. "Ya, aku baik-baik saja. Hanya saja... agak aneh, ya, memikirkan bahwa kita semua akan segera berpisah."
Wooyoung mengangguk, menatap San dengan perhatian yang tulus. "Aku tahu. Rasanya seperti baru kemarin kita mulai SMA, dan sekarang kita akan segera pergi. Tapi kita masih punya malam ini, kan?"
San mengangguk, meski senyumnya tampak dipaksakan. "Ya, kita masih punya malam ini."
Wooyoung memperhatikan San dengan seksama, merasa ada sesuatu yang lebih dalam yang mengganggu pikiran sahabatnya. "Hei, kenapa kita tidak pergi keluar sebentar? Hanya untuk mencari udara segar, menjauh dari keramaian ini."
San ragu-ragu sejenak, tetapi kemudian mengangguk. "Oke."
Mereka berdua keluar dari rumah, menuju ke halaman belakang yang gelap dan sepi. Suara musik dari dalam rumah masih terdengar, tapi lebih meredam di sini. Udara malam yang dingin membuat San sedikit gemetar, tetapi dia merasa lebih tenang, lebih mampu bernapas di tempat ini.
"Jadi, apa yang sebenarnya kamu pikirkan?" Wooyoung bertanya, suaranya lembut dan penuh perhatian.
San menatap tanah, menghindari tatapan Wooyoung. "Aku hanya... Aku merasa seperti ada begitu banyak yang belum kita lakukan. Seperti, semua kenangan yang kita buat, semua yang kita lewati bersama... aku takut itu semua akan hilang saat kita berpisah."
Wooyoung melangkah lebih dekat, menempatkan tangannya di bahu San. "Kita mungkin akan pergi ke tempat yang berbeda, tapi kita tidak akan kehilangan semua itu. Kenangan-kenangan itu akan selalu bersama kita. Dan kita selalu bisa saling menghubungi, saling bertemu."
San mengangguk lagi, meski dalam hatinya masih ada kekhawatiran yang membelenggu. "Kamu benar... Aku hanya berharap kita bisa lebih lama bersama."
Wooyoung tersenyum dan mendekatkan wajahnya ke wajah San. "Kita masih punya malam ini, San. Kita bisa membuatnya berarti."
Tanpa menunggu jawaban, Wooyoung menarik San lebih dekat dan mencium bibirnya. San terkejut pada awalnya, tetapi kemudian ia merespon ciuman itu dengan penuh gairah. Ada sesuatu dalam ciuman itu—keputusasaan, kerinduan, dan sebuah pemahaman bahwa mereka mungkin tidak akan memiliki kesempatan seperti ini lagi.
Malam semakin larut, dan kedua pemuda itu terbawa oleh gairah yang semakin memuncak. Mereka pindah ke dalam sebuah gudang kecil yang ada di halaman belakang, mencari sedikit privasi dari dunia luar. Wooyoung dengan cepat menutup pintu, dan dalam kegelapan gudang yang remang-remang, mereka kembali saling mencari.
Tangan Wooyoung bergerak cepat, melepas pakaian mereka satu per satu, meninggalkan jejak-jejak ciuman di kulit San. San bernafas berat, dadanya naik turun dengan cepat, tetapi ia tidak menghentikan Wooyoung. Ada api yang membara di dalam dirinya, sesuatu yang tidak bisa ia padamkan meskipun ia mencoba.
Saat pakaian terakhir mereka terlepas, Wooyoung mendorong San ke tumpukan jerami yang ada di gudang itu. Mereka berbaring di atas jerami, tubuh mereka saling menyatu. Wooyoung menatap mata San, memastikan bahwa ini yang San inginkan. San mengangguk perlahan, senyum kecil muncul di bibirnya.
"Aku ingin ini, Wooyoung," bisiknya, suaranya dipenuhi oleh hasrat dan kebutuhan.
Wooyoung tidak menunggu lebih lama lagi. Dengan lembut namun penuh gairah, ia menyatukan tubuh mereka. San menggigit bibirnya, menahan erangan yang hampir keluar dari bibirnya. Wooyoung bergerak pelan pada awalnya, memberikan waktu bagi San untuk menyesuaikan diri, tetapi kemudian ia mempercepat gerakannya, mengikuti irama yang dipandu oleh hasrat mereka.
Desahan dan erangan memenuhi ruang kecil itu, hanya terdengar oleh mereka berdua. Wooyoung mengusap wajah San, mencium bibirnya berkali-kali sambil terus bergerak, mengisi setiap inci dirinya dengan kehangatan dan cinta. Mereka berdua larut dalam keintiman, melupakan dunia di luar sana, bahkan hanya untuk beberapa saat.
Malam itu berlalu dengan cepat, tetapi meninggalkan jejak yang dalam bagi keduanya. Mereka berbaring bersama, napas mereka perlahan kembali normal. Wooyoung memeluk San erat-erat, mencium puncak kepalanya dengan penuh kasih.
"Aku akan selalu ada untukmu, San," bisik Wooyoung pelan.
San tersenyum lelah, menutup matanya dan membiarkan dirinya tenggelam dalam perasaan aman di pelukan
Wooyoung. Malam itu, mereka tahu bahwa meskipun masa depan tak pasti, setidaknya mereka punya kenangan ini, kenangan yang tak akan pernah mereka lupakan.
***
Beberapa bulan kemudian, San menyadari ada yang berbeda dalam dirinya.
Perutnya yang dulu rata kini mulai menunjukkan perubahan. Dan saat ia memeriksakannya ke dokter, sebuah kabar mengejutkan datang: dia hamil.
San terdiam lama, memandang hasil tes di tangannya. Jantungnya berdegup kencang. Bagaimana ia harus memberitahu Wooyoung? Bagaimana ini akan mengubah hidup mereka berdua? Namun di balik semua ketakutan dan kebingungan itu, ada sebersit kebahagiaan.
Karena ia tahu, bagaimanapun juga, bayi ini adalah bagian dari malam yang tak terlupakan, malam di mana mereka saling mencintai dengan segenap hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sanzzy Episode • All × San
FanfictionSanzzy: a pun intended from Snazzy bottom!San / San centric Drabble collection; around 500 words/chapter May contains mpreg ©2020, yongoroku456