Rumah yang dulu dipenuhi tawa dan keakraban kini berderak oleh ketegangan yang tak terlihat namun terasa nyata.
Wooyoung dan San, dua sahabat yang pernah saling memahami tanpa perlu kata-kata, kini berdiri di ujung pisau ketidaksabaran. Mereka berdebat tentang hal-hal sepele, memotong kata satu sama lain dengan ketajaman yang tak terkendali."Kenapa kamu selalu membiarkan handuk basah di lantai kamar mandi?" serang San, suaranya tajam seperti pecahan kaca.
"Kenapa kamu selalu mengeluh tentang hal-hal kecil? Bukannya bisa membereskannya sendiri?" balas Wooyoung, suaranya tak kalah tajam.
Pertengkaran ini, yang sebelumnya hanya kata-kata yang tajam, telah berkembang menjadi dorongan fisik. Wooyoung mendorong San dengan satu tangan, menyebabkan San kehilangan keseimbangan sejenak. San membalas dengan dorongan yang lebih keras, hingga punggung Wooyoung menghantam dinding dengan suara keras.
"Apa kalian tidak bisa berhenti sejenak?!" teriak Hongjoong, pemimpin mereka, yang berdiri dengan tangan terentang di antara mereka. "Jika kalian mau bertengkar, lakukan di luar! Kami sudah cukup dengan ketegangan ini."
Malam itu, keheningan jatuh di antara mereka seperti kabut yang tebal. Wooyoung duduk di tepi tempat tidurnya, memandangi langit-langit yang gelap. Di ruangan sebelah, San melakukan hal yang sama, merasakan kekosongan yang semakin menyiksa. Tidak ada yang benar-benar mengerti bagaimana persahabatan mereka berubah menjadi permusuhan, bahkan mereka sendiri.
Namun, ada satu hal yang mereka berdua tahu—ketegangan ini telah memengaruhi kelompok. Mereka harus menemukan cara untuk memperbaikinya.
Perlahan, dengan langkah-langkah ragu, Wooyoung mengetuk pintu kamar San. Suara ketukan itu bergema di koridor yang sunyi, membawa harapan rekonsiliasi yang samar.
"Pintunya tidak dikunci," suara San terdengar lemah dari dalam kamar.
Wooyoung masuk, menutup pintu dengan hati-hati di belakangnya. "San, kita tidak bisa terus seperti ini. Kita menghancurkan segalanya."
San menghela napas panjang, duduk di tepi tempat tidurnya. "Aku tahu, Woo. Tapi aku juga tidak tahu bagaimana cara memperbaikinya."
Mereka saling memandang dalam diam yang berat. Ada begitu banyak hal yang tak terucapkan, begitu banyak luka yang tak terlihat.
Perlahan, Wooyoung melangkah mendekat, duduk di samping San. "Aku minta maaf," katanya dengan suara rendah. "Aku tidak tahu bagaimana semuanya bisa jadi seperti ini. Aku merindukan kita yang dulu."
San mengangguk, matanya berkilauan oleh cahaya lampu yang redup. "Aku juga, Woo. Mungkin kita perlu mulai dari awal, mencoba untuk saling memahami lagi."
Malam itu, tanpa banyak kata, mereka merasakan kehangatan yang lama hilang. Sentuhan tangan Wooyoung di pundak San, pijatan lembut yang menenangkan otot-otot yang tegang.
"Ini tidak seperti biasanya," bisik San, matanya menutup oleh kenyamanan yang perlahan mengalir melalui tubuhnya.
"Memang tidak," jawab Wooyoung, masih memijat lembut bahu San. "Tapi kita butuh ini. Kita butuh momen ini untuk menyembuhkan."
.
Pagi datang dengan sinar matahari yang lembut, membawa harapan baru.
Mereka berdua tahu bahwa perjalanan untuk memperbaiki hubungan mereka tidak akan mudah, tetapi malam itu telah menjadi langkah pertama.
Mereka bangkit dari tempat tidur, mengenakan senyum yang lebih tulus, siap menghadapi hari baru dengan tekad yang diperbarui untuk menjaga apa yang pernah mereka miliki.
Di luar, anggota lain merasakan perubahan suasana. Hongjoong tersenyum, merasa lega melihat dua sahabat itu kembali bersama.
Mungkin, dengan cinta dan kesabaran, segala sesuatu bisa diperbaiki.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sanzzy Episode • All × San
Fiksi PenggemarSanzzy: a pun intended from Snazzy bottom!San / San centric Drabble collection; around 500 words/chapter May contains mpreg ©2020, yongoroku456