Hatred

61 9 0
                                    

Langit sore yang mendung menggantung berat di atas kota, mencerminkan suasana hati San yang penuh dengan keraguan.

Langkah kakinya membawa dia menuju ruang latihan, tempat di mana dia biasa menghabiskan waktu bersama anggota grupnya. Ruang itu, yang biasanya penuh dengan tawa dan semangat, kini tampak asing baginya. Di setiap sudut, kenangan manis dan pahit saling bertaut, menciptakan rasa hampa yang sulit diuraikan.

San berjalan perlahan, setiap langkahnya terasa berat. Di depan pintu ruang latihan, dia berhenti sejenak, mendengar suara-suara yang terdengar samar dari dalam. Suara tawa dan percakapan yang biasa menenangkan hatinya kini terdengar berbeda. Dia mendekat, berusaha menangkap percakapan itu dengan lebih jelas.

“San itu selalu terlambat, ya. Rasanya dia tidak serius dengan latihan kita,” suara Yunho terdengar jelas, dengan nada kesal yang tidak biasa.

“Aku juga merasa begitu. Dia sering salah gerakan, dan itu membuat kita semua terlihat buruk,” sambung Wooyoung, suaranya penuh kekecewaan.

San terdiam di tempatnya, napasnya tertahan. Hatinya berdebar keras, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Dia selalu berpikir bahwa mereka adalah teman, lebih dari sekadar rekan satu grup. Tapi kata-kata itu, begitu tajam dan menusuk, membuatnya meragukan segala hal.

“Kalau dia terus begini, mungkin lebih baik dia keluar dari grup,” kata Seonghwa dengan nada tegas, tanpa keraguan sedikitpun.

San merasa dunianya runtuh. Kata-kata itu terus terngiang di telinganya, membuat hatinya terasa berat dan sesak. Dengan langkah gemetar, dia berbalik meninggalkan pintu ruang latihan. Air mata mulai mengalir di pipinya, namun dia berusaha untuk menahan isak tangisnya.

Di lorong yang sepi, San berjalan tanpa arah. Pikiran dan perasaannya bercampur aduk, antara marah, sedih, dan kecewa. Dia tidak tahu harus kemana, tapi yang jelas dia tidak bisa kembali ke dalam ruang latihan itu. Rasa sakit yang dia rasakan terlalu dalam, dan kepercayaan yang selama ini dia bangun bersama anggota grupnya hancur berkeping-keping.

San berhenti di sebuah taman kecil, duduk di bangku yang terletak di bawah pohon besar. Dia memandang ke arah langit yang mulai gelap, mencoba mencari ketenangan dalam kekacauan yang melanda hatinya. “Apakah aku benar-benar tidak berarti bagi mereka?” tanyanya pada diri sendiri, suaranya lirih dan bergetar.

Saat itu, langkah kaki terdengar mendekat. San mengangkat wajahnya dan melihat Yeosang berdiri di depannya, dengan wajah penuh kekhawatiran. “San, apa yang terjadi? Kenapa kamu di sini?” tanya Yeosang lembut, duduk di samping San.

San menatap Yeosang dengan mata yang masih basah oleh air mata. “Aku mendengar mereka berbicara tentang aku. Mereka bilang aku selalu terlambat, selalu membuat kesalahan. Mereka bilang aku tidak serius, dan mungkin lebih baik aku keluar dari grup,” jawabnya dengan suara pelan, penuh dengan rasa sakit.

Yeosang terkejut mendengar itu. “San, jangan dengarkan mereka. Aku yakin mereka tidak benar-benar bermaksud seperti itu. Mereka mungkin hanya sedang frustrasi.”

San menggelengkan kepala, menatap Yeosang dengan mata penuh kesedihan. “Tapi kata-kata mereka sangat menyakitkan. Aku merasa tidak dihargai, tidak diinginkan. Mungkin mereka benar, mungkin lebih baik aku keluar.”

Yeosang menghela napas panjang, mencoba menenangkan temannya. “San, kamu adalah bagian penting dari grup kita. Kami semua tahu betapa keras kamu bekerja, betapa banyak yang kamu berikan untuk grup ini. Jangan biarkan kata-kata mereka menghancurkanmu.”

San terdiam, merenungkan kata-kata Yeosang. Dia tahu bahwa Yeosang selalu menjadi sosok yang bijaksana dan penuh pengertian. “Tapi aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Rasanya semua yang kulakukan selalu salah di mata mereka.”

Yeosang menatap San dengan penuh empati. “San, kita semua membuat kesalahan. Itu adalah bagian dari proses belajar dan berkembang. Yang penting adalah kita tetap bersama, saling mendukung dan menguatkan. Jangan biarkan rasa putus asa menguasaimu.”

San merasa hatinya sedikit lebih tenang mendengar itu. “Terima kasih, Yeosang. Kata-katamu selalu memberiku kekuatan.”

Yeosang tersenyum lembut. “Kita adalah keluarga, San. Tidak ada yang sempurna, tapi kita bisa menjadi lebih baik bersama-sama. Kembalilah ke ruang latihan. Bicarakan dengan mereka, ungkapkan perasaanmu. Aku yakin mereka akan mengerti.”

San mengangguk pelan, merasa ada harapan yang mulai tumbuh kembali di dalam hatinya. Dengan dukungan Yeosang, dia merasa siap untuk menghadapi apapun yang terjadi. Mereka berdua berdiri, berjalan kembali menuju ruang latihan dengan langkah yang lebih mantap.

Di pintu ruang latihan, San berhenti sejenak, mengumpulkan keberaniannya. Dia membuka pintu dan masuk, melihat anggota grupnya yang lain berhenti berlatih dan menatapnya dengan kaget.

“San,” panggil Yunho dengan nada penuh penyesalan. “Kami… kami tidak bermaksud seperti itu.”

San menghela napas panjang, menatap mereka satu per satu. “Aku mendengar semuanya. Kata-kata kalian sangat menyakitkan. Aku merasa tidak dihargai dan tidak diinginkan. Tapi aku tidak ingin keluar dari grup ini. Aku ingin kita bicara, saling mengerti, dan mencari solusi bersama.”

Seonghwa mendekat, menatap San dengan mata penuh rasa bersalah. “San, maafkan kami. Kami terlalu terbawa emosi. Kami tidak bermaksud menyakitimu.”

Wooyoung juga mengangguk, wajahnya penuh penyesalan. “Kami hanya frustrasi dengan latihan yang sulit. Kami seharusnya tidak menyalahkanmu.”

San merasa hatinya lebih ringan mendengar permintaan maaf mereka. “Aku juga akan berusaha lebih baik. Tapi kita harus saling mendukung dan menguatkan. Kita adalah tim, kita adalah keluarga.”

Dengan itu, mereka semua saling berpelukan, merasakan kehangatan dan kekuatan dari persatuan mereka.

Di ruang latihan yang penuh dengan semangat dan harapan, mereka kembali berlatih, bekerja keras untuk mencapai impian mereka.

Sanzzy Episode • All × SanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang