Sinar matahari pagi menembus celah tirai, membentuk garis-garis emas di dinding kamar tidur.
Wooyoung terjaga perlahan, dengan mata yang masih berat oleh sisa-sisa mimpi semalam. Dia mengulurkan tangan, mencari kehangatan tubuh San di sampingnya, tetapi hanya menemukan dinginnya tempat tidur yang sudah lama ditinggalkan.Dengan enggan, Wooyoung bangkit, merasakan kelembutan karpet di bawah kakinya yang telanjang. Pintu kamar dibuka, dan suara riuh dari luar menyambutnya—suara kantong belanjaan yang berderak, diselingi oleh keluhan kecil yang terdengar familiar.
Di ambang pintu dapur, dia melihat San, dengan senyum lelah dan keringat yang mengilap di dahinya, membawa tumpukan kantong plastik penuh barang belanjaan.
"Woo, aku pulang," kata San dengan nada ceria yang disertai desahan kelelahan. Wooyoung memperhatikan bagaimana San sedikit terpincang saat melangkah, sebuah tanda yang sudah sangat dia kenali.
Wooyoung melangkah cepat, mengulurkan tangan untuk membantu. "San, duduk dulu," katanya dengan nada cemas, mengambil alih kantong belanjaan dari tangan San. "Kenapa nggak bangunin aku kalau mau ke pasar? Kamu tahu kaki kamu belum sembuh benar."
San tersenyum, meski raut wajahnya menahan sakit. "Kamu tidur pulas sekali, Woo. Aku nggak tega membangunkanmu."
Wooyoung hanya menggelengkan kepala, membimbing San ke sofa dan membantunya duduk. "Aku sudah bilang, jangan pernah ragu untuk membangunkanku. Kamu tahu kondisi kakimu. Jalan jauh seperti ini hanya akan memperparah rasa sakit."
Dengan lembut, Wooyoung mulai memijat kaki San, merasakan otot-otot yang tegang di bawah kulit yang halus. "Rasanya bagaimana? Lebih baik?"
San mengangguk, matanya terpejam menikmati sentuhan Wooyoung yang lembut namun tegas. "Lebih baik, terima kasih, Woo."
"Jangan bilang terima kasih. Aku hanya melakukan apa yang seharusnya aku lakukan sebagai suami," Wooyoung menggerutu, meskipun suaranya lembut. "Aku akan mengambil kain dingin untuk mengompres kakimu. Istirahat dulu di sini."
San menghela napas panjang, merasakan beban yang sedikit terangkat dari kakinya. "Maafkan aku, Woo. Aku hanya ingin membantu."
Wooyoung tersenyum, meski hatinya masih dipenuhi kekhawatiran. "Aku tahu, San. Tapi kesehatanmu lebih penting dari apapun. Jangan memaksakan diri."
Setelah mengompres kaki San dengan kain dingin, Wooyoung berdiri. "Sekarang, istirahatlah. Biar aku yang beresin belanjaan di dapur."
San hanya bisa mengangguk, matanya yang setengah tertutup mengawasi Wooyoung yang berjalan ke dapur dengan langkah ringan, membawa kantong-kantong belanjaan dengan mudah.
Wooyoung bekerja dengan cepat dan cekatan, menyusun sayuran, buah-buahan, dan bahan-bahan lain dengan rapi di tempatnya.
Di balik dinding, San tersenyum tipis, merasa beruntung memiliki suami yang begitu perhatian dan penuh kasih.
Rasa sakit di kakinya terasa berkurang, digantikan oleh kehangatan yang membanjiri hatinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sanzzy Episode • All × San
FanfictionSanzzy: a pun intended from Snazzy bottom!San / San centric Drabble collection; around 500 words/chapter May contains mpreg ©2020, yongoroku456