San berdiri di depan cermin, mata yang hampa menatap bayangan dirinya yang terpantul di permukaan kaca.
Wajahnya tanpa ekspresi, seakan-akan topeng dingin menutupi segala emosi yang berkecamuk di dalam hatinya. Namun, sorot matanya tak mampu berbohong. Di balik beningnya cermin, matanya berbisik lirih, "Aku menderita."
Ruangan itu sunyi, hanya terdengar desah napas San yang berat, seolah-olah setiap tarikan dan hembusan udara adalah beban yang harus ia pikul. Dalam keheningan malam, suara hatinya menggema, memekik di dalam kesunyian yang pekat. Di balik senyuman palsu yang sering ia tampilkan di hadapan dunia, tersimpan rasa sakit yang tak terkatakan.
San menggenggam tepi wastafel, jemarinya memutih karena kuatnya cengkeraman. Kepalanya tertunduk, bahunya bergetar ringan. Ia tahu, malam ini, ia tak lagi mampu mengabaikan kegelapan yang melingkupinya. Perasaan putus asa yang selama ini ia tekan semakin mendesak, menghimpit hatinya hingga nyaris tak bisa bernapas.
Di sudut ruangan, terdapat sebuah botol pil yang tergeletak, seakan-akan menjadi saksi bisu penderitaan San. Ia melangkah pelan, mendekati botol itu dengan tangan gemetar. Dalam benaknya, berkelebat berbagai kenangan pahit yang seakan-akan menolak untuk dilupakan.
"Kenapa harus seperti ini?" gumam San dengan suara serak. "Kenapa aku harus merasa begitu kosong?"
Air matanya mulai mengalir, membasahi pipinya yang pucat. Ia teringat akan hari-hari penuh kegelapan, ketika ia merasa tak ada jalan keluar dari lingkaran penderitaan ini. Ia pernah berpikir untuk mengakhiri semuanya, menghilangkan rasa sakit yang terus menghantui. Namun, selalu ada sesuatu yang menghentikannya, entah itu ketakutan atau harapan yang tersisa.
Dengan tangan gemetar, San membuka botol pil itu. Satu per satu, pil-pil itu tumpah ke telapak tangannya. Ia menatap pil-pil itu dengan pandangan nanar, seakan-akan mencari jawaban di antara butiran kecil yang bisa mengubah segalanya.
Tiba-tiba, suara ketukan pintu membuyarkan pikirannya. San terkejut, menoleh ke arah pintu dengan mata terbelalak.
"Kau di dalam?" suara lembut itu memanggil. Itu suara Seonghwa, sahabatnya yang selalu ada untuknya.
San menghapus air matanya dengan cepat, mencoba menyembunyikan kepedihan yang terpancar dari wajahnya. "Ya, aku di sini," jawabnya dengan suara parau.
Pintu terbuka perlahan, dan Seonghwa melangkah masuk dengan wajah khawatir. Ia melihat botol pil di tangan San, dan matanya melebar. "Apa yang kau lakukan?" tanyanya, suaranya bergetar.
San menunduk, merasa malu dan terhina. "Aku... aku tidak tahu. Aku hanya merasa begitu lelah. Aku tidak tahu bagaimana caranya untuk terus bertahan."
Seonghwa mendekati San, meraih tangannya dengan lembut.
San merasa tangisnya pecah, dan ia jatuh ke pelukan Seonghwa. "Aku tidak tahu harus bagaimana. Aku merasa begitu hampa dan putus asa."
Seonghwa mengusap punggung San dengan lembut, memberikan rasa nyaman yang sangat dibutuhkan San saat itu. "Aku mengerti. Kadang-kadang, hidup memang terasa begitu berat."
Dalam pelukan sahabatnya, San merasakan kehangatan yang perlahan-lahan mulai mengikis kegelapan di hatinya. Ia tahu bahwa jalan menuju pemulihan tidak akan mudah, namun dengan dukungan Seonghwa, ia merasa memiliki kekuatan untuk mencoba. Malam itu, di bawah langit yang kelam, San menemukan secercah harapan yang selama ini ia cari. Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk terus berjuang, untuk menemukan kembali cahaya di tengah kegelapan.
Dan di balik sorot mata San yang dulu penuh penderitaan, kini mulai tampak kilauan harapan yang baru, sebuah janji untuk terus bertahan dan menemukan kebahagiaan yang sejati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sanzzy Episode • All × San
FanfictieSanzzy: a pun intended from Snazzy bottom!San / San centric Drabble collection; around 500 words/chapter May contains mpreg ©2020, yongoroku456