Choi San adalah mahasiswa tahun kedua di sebuah universitas terkenal di Seoul.
Sejak kecil, San selalu merasa berbeda dari teman-temannya. Dia bisa merasakan emosi orang lain dengan sangat kuat, sehingga sering merasa kewalahan di keramaian.
Setelah bertahun-tahun berjuang dengan perasaannya, San akhirnya didiagnosis sebagai HSP (Highly Sensitive Person), atau orang yang sangat sensitif.
Dengan diagnosis ini, San mulai mengerti mengapa dia merasa lelah setelah berinteraksi dengan banyak orang, mengapa suara keras dan cahaya terang bisa membuatnya tidak nyaman. Dia memutuskan untuk mengisolasi diri, menghindari teman-temannya dan kegiatan sosial. Dia merasa lebih aman dan nyaman di kamarnya yang tenang, di mana dia bisa mengendalikan lingkungannya.
Namun, San tidak bisa menghindari kelas dan tugas kelompok.
Suatu hari, dalam salah satu kelas seni yang dia ambil, dia bertemu dengan seorang mahasiswa bernama Jung Wooyoung. Wooyoung adalah seseorang yang ceria dan penuh semangat. Dia selalu dikelilingi oleh teman-teman dan selalu membuat suasana di sekitarnya menjadi lebih hidup.
San biasanya duduk di pojok kelas, mencoba untuk tidak menarik perhatian. Tapi Wooyoung, dengan kepekaannya yang alami terhadap orang lain, segera menyadari keberadaan San yang selalu sendiri. Saat mereka diberi tugas kelompok untuk membuat proyek seni, Wooyoung dengan sengaja memilih untuk bekerja dengan San.
“Hey, San, kamu mau bekerja sama denganku untuk proyek ini?” tanya Wooyoung dengan senyum hangat.
San terkejut. Dia terbiasa diabaikan oleh teman-teman sekelasnya karena sikapnya yang tertutup. “Uh, tentu, Wooyoung. Tapi, aku mungkin tidak akan banyak bicara,” jawab San dengan nada ragu.
Wooyoung tertawa kecil. “Itu tidak masalah. Aku yakin kita bisa membuat sesuatu yang hebat bersama.”
Mereka mulai bekerja sama, dan Wooyoung dengan cepat menyadari betapa berbakatnya San. Meski pendiam, San memiliki mata yang tajam untuk detail dan imajinasi yang luar biasa. Wooyoung menghargai setiap ide yang diberikan San, dan tidak pernah memaksanya untuk berbicara lebih dari yang dia mau.
Suatu hari, mereka memutuskan untuk bekerja di rumah Wooyoung. Saat mereka sedang mengerjakan proyek, Wooyoung berhenti sejenak dan menatap San.
“San, boleh aku bertanya sesuatu?” tanya Wooyoung dengan hati-hati.
San mengangguk, sedikit waspada. “Tentu, apa itu?”
“Aku tahu ini mungkin terdengar aneh, tapi aku merasa kamu selalu menyendiri dan tampak terbebani. Apakah kamu baik-baik saja?” Wooyoung bertanya dengan tulus.
San terdiam sejenak, merasa bingung harus menjawab apa. Tapi melihat ketulusan di mata Wooyoung, dia memutuskan untuk membuka diri sedikit.
“Aku... aku didiagnosis sebagai HSP, Highly Sensitive Person. Itu berarti aku lebih sensitif terhadap stimulus di sekitarku, baik itu suara, cahaya, atau emosi orang lain. Kadang-kadang, itu bisa sangat melelahkan,” kata San dengan suara pelan.
Wooyoung mendengarkan dengan seksama, tidak pernah memotong kata-kata San. “Terima kasih sudah memberitahuku, San. Aku tidak bisa membayangkan betapa sulitnya itu. Tapi kamu tahu, aku di sini jika kamu butuh teman untuk bicara atau sekadar mendengarkan.”
Kata-kata Wooyoung yang sederhana namun penuh empati itu menyentuh hati San. “Terima kasih, Wooyoung. Itu berarti banyak bagiku.”
Sejak saat itu, Wooyoung selalu memastikan bahwa San merasa nyaman di sekitar mereka. Dia tidak pernah memaksakan San untuk terlibat dalam kegiatan yang terlalu ramai atau berisik. Mereka sering menghabiskan waktu bersama di tempat yang tenang, berbicara tentang musik, seni, dan hal-hal lain yang mereka sukai.
Suatu malam, setelah mereka menyelesaikan proyek seni mereka, Wooyoung mengajak San berjalan-jalan di taman kampus yang sepi. Udara malam yang segar dan ketenangan taman membuat San merasa lebih rileks.
“San, aku tahu ini mungkin butuh waktu, tapi aku berharap kamu bisa merasa lebih nyaman dan terbuka. Kamu tidak harus menghadapi semuanya sendirian,” kata Wooyoung sambil menatap langit malam yang penuh bintang.
San mengangguk, merasakan kehangatan dalam kata-kata Wooyoung. “Aku tahu, Wooyoung. Sejak bertemu denganmu, aku merasa ada seseorang yang benar-benar peduli. Terima kasih sudah menjadi teman yang begitu baik.”
Wooyoung tersenyum dan merangkul San dengan lembut. “Kita semua punya tantangan masing-masing. Yang penting adalah kita tidak menyerah dan selalu mendukung satu sama lain.”
Dalam keheningan malam itu, San merasa bahwa dia telah menemukan seseorang yang memahami dan menerima dirinya apa adanya. Wooyoung bukan hanya sekadar teman, tapi juga sumber kekuatan dan dukungan yang membuatnya merasa tidak sendirian lagi.
Sejak hari itu, San mulai membuka diri sedikit demi sedikit. Dia tetap menghargai waktu sendirinya, tapi dia juga belajar bahwa ada kebahagiaan dalam berbagi perasaan dan momen dengan orang lain. Dengan dukungan Wooyoung, San menemukan keseimbangan antara menjaga sensitivitasnya dan menjalani kehidupan yang lebih penuh.
Di dunia yang penuh dengan kebisingan dan kesibukan, San dan Wooyoung menemukan ketenangan dan kebahagiaan dalam persahabatan mereka yang tulus.
Mereka belajar bahwa dengan saling mendukung, mereka bisa menghadapi apapun yang datang dalam hidup.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sanzzy Episode • All × San
FanfictionSanzzy: a pun intended from Snazzy bottom!San / San centric Drabble collection; around 500 words/chapter May contains mpreg ©2020, yongoroku456