Chapter-14

91 4 0
                                    

Setelah bertemu dengan Niko dan membicarakan tentang bayi tabung. Triska memilih untuk membeli beberapa kebutuhan di rumah yang susah hampir habis. Moza kembali ke kantor setelah mendapatkan telepon dari atasannya, yang dimana nanti setelah belanja Triska harus pulang sendiri ke rumah. Bawaannya lumayan banyak dan berat,  biasanya yang begini urusan Moza tapi kali ini Triska benar-benar harus mandiri tanpa Moza.

Mendorong troli belanjanya yang sudah penuh, Triska menatap sekeliling  tempat belanja ini dengan mata yang memicing. Satu persatu orang dia lihat, dia perhatikan dari atas hingga bawah. Tidak ada yang spesial, tapi kadang Triska bisa menemukan seseorang yang menggunakan style yang mencolok di mata Triska. Tapi kali ini tidak yang bisa menarik Triska untuk bergumam pelan di hatinya.

Menaruh belanjaannya di meja kasir, tak sengaja Triska melihat seseorang yang menggunakan setelan jas hitam yang baru saja lewat di depan Triska tapi sedikit jauh. Mata wanita itu memicing sempurna memastikan jika orang yang dia lihat bukanlah orang yang ada dipikirannya. Siapa lagi jika bukan Moza, apalagi postur tubuh dan juga aroma parfumnya sama persis seperti milik Moza. Meskipun jalan mereka hanya berdampingan, semua orang akan tetap menganggap mereka adalah suami istri yang sedang bertengkar.

“Mbak belanjaannya.” kata Mbak-mbak kasir menegur Triska.

“Eh, maaf ya Mbak.” 

Satu persatu belanjaan yang ada di troli, Triska tata rapi di atas kasir. Dia pun mendorong troli itu dan mengembalikan ke tempat semula. Untuk apa juga Triska memikirkan hal yang tidak penting. Jas dan juga aroma parfum begini banyak yang pake, tidak mungkin juga kalau itu Moza. Untuk apa juga dia pergi ke tempat belanja bersama dengan wanita lain. Jikapun itu Moza sudah pasti pria itu mengirim pesan pada Triska dan menanyakan keberadaan wanita itu. Ponselnya saja sunyi, sudah pasti jika itu bukan Moza.

Usai membayar tagihan belanja, Triska memilih memesan taksi online saja untuk pulang. Dia tidak mungkin menelpon Moza yang pulangnya saja nanti sore, yang ada Triska bisa lumutan di depan belanja hanya karena Moza.

“Triska bukan ya?” tanya seseorang menepuk bahu Triska.

Wanita itu menoleh cepat, menatap siapa yang menepuk bahunya barusan. “Iya. Siapa ya?”

“Astaga Tris kamu lupa sama aku?”

Bukannya lupa tapi Triska tidak tahu wanita di hadapannya itu siapa. Ini kali pertama Triska bertemu, mana ada kata lupa jika sebelumnya mereka saling kenal. Sama seperti Elena, yang saling kenal dari sekolah sampai menikah pun Triska masih mengingatnya.

“Kan  bener kamu lupa sama aku.” kata wanita itu lagi dan semakin membuat Triska bingung.

“Siapa ya? Pernah ketemu sebelumnya?”

Wanita itu memekik kaget mendengar pertanyaan Triska. Bukan ketemu lagi, tapi sudah bersama selama enam tahun waktu mereka masih duduk di bangku sekolah. Mereka hanya dipisahkan waktu masa kuliah dan kerja, karena memang memiliki kesibukan masing-masing yang mengharuskan mereka tidak bisa bertemu seperti dulu. Tapi disini wanita itu ngeyel, jika bentuk tubuh dan juga wajahnya tidak banyak berubah. Triska yang sudah menikah dan memiliki anak saja wanita itu masih bisa mengenalinya, masa iya dengan wanita itu tidak bisa?

“Siapa sih? Bilang aja siapa, aku capek malah suruh mikir.” kata Triska kesal.

Wanita itu tertawa. “Nisa. Masih ingat nggak sama Nisa? Anissa Rahmawati?”

Dengan kening yang berkerut, Triska terus memikirkan nama itu. Anissa Rahmawati, siapa? Kembali menatap wanita itu dari bawah sampai atas dengan mata mendelik. Sekarang dia ingat siapa Anissa. Menutup mulutnya dengan tidak percaya, Triska kembali menatap Nisa dari bawah sampai atas.

“Astaga … ini Nisa temen sebangku aku kan? Yang dulu pake kacamata suka kuncir dia?” tanya Triska hanya untuk memastikan.

“Iya lah, siapa lagi kalau bukan yang itu.”

Triska berteriak histeris. “Kamu berubah banget Nisa, aku sampai nggak ngenalin kamu loh. Ini wajah ada yang kamu ubah kan? Soalnya beda banget.”

Nisa mengangguk, dia merubah bagian hidung dan juga dagu yang lebih dominan. Lainnya masih ori ciptakan Tuhan, Nisa yang dulu memiliki hidung yang pesek nyaris tidak terlihat di antara kedua pipinya makanya tidak ada yang suka dengan Nisa karena hal itu. Belum lagi dagu Nisa yang lebih menonjol ke atas dan juga rahangnya yang terlalu ke depan, kadang sulit membuat Nisa makan karena sering terasa ngilu. Dagunya juga membuat Nisa insecure sejak dulu. Tapi sekarang … Triska hanya bisa geleng kepala melihat Nisa yang berubah total, dari atas hingga bawah.

“Kamu habis belanja mau kemana? Kita ngobrol bentar yuk, kangen nih.”

Triska langsung menunjukkan wajah cemberut nya, dia menunjukkan layar ponselnya yang masih nyalah pada Nisa. “Aku mau pulang, tapi keburu pesen taksi online.

“Batalin aja, kamu pulang sama aku. Ayolah, kapan lagi kita bisa ketemu begini setelah lulus sekolah?”

Yang jelas akan sulit bagi mereka untuk kembali bertemu. Triska yang sibuk di rumah, begitu juga dengan Nisa yang sibuk dengan kegiatannya. Sudah dipastikan  Nisa bukanlah orang nganggur yang memiliki banyak waktu untuk nongkrong. Tapi masalahnya taksi online yang dia pesan sebentar lagi akan sampai, tidak mungkin jika dia tiba-tiba membatalkan pesanannya. Yang ada Triska malah menunggu taksi online yang dia pesan sampai di depannya dan membayarnya dengan jumlah yang sama.  Setelah itu Triska memilih pulang bersama dengan Nisa. Nyatanya dari lulus sekolah hingga saat ini Nisa dan juga Triska tidak pernah bertemu, tidak saling kontak satu sama lain di akun sosial media mereka.

“Habis lulus, aku langsung balik Jogja Tris. Aku kuliah disana sambil mengelola kos-kosan punya papa. Aku juga kerja sampingan waktu kuliah biar cari pengalaman aja, habis itu mutusin buat bikin bisnis sendiri.” jelas Nisa.

“Wow … bisnis apaan, Nis?”

“Skincare. Jaman sekarang orang pake make up kalau ada butuhnya aja, kalau skincare kan tiap hari mereka make. Tiap bulan juga mereka pasti beli, akhirnya aku buka bisnis itu bikin brand sendiri.”

Triska benar-benar kagum dengan Nisa yang bisa sampai di puncak ini. Dia dulu waktu Sekolah juga bilang ingin jadi bos di bisnisnya sendiri. Dan Triska tidak menyangkal jika hal itu sungguh terakhir, apalagi data Triska yang dulunya hanya pegawai kantoran yang menikah dengan Moza. Dan sekarang malah memilih menjadi ibu rumah tangga yang dua puluh empat mengurusi suami dan juga anak. Triska ingin kembali bekerja, tapi Moza dengan keras melarangnya. Padahal setiap hari Triska merasa bosan di rumah tidak melakukan apapun, Naufal sudah besar seharusnya tidak masalah.

Membelokkan mobilnya di salah satu rumah yang tidak begitu luas. Triska dan Nisa pun turun secara bersamaan, membawa semua barang belanjaan Triska hingga sampai di dapur. Triska tak langsung menyimpan semua bahan yang dibeli, dan lebih memilih duduk bersama dengan Nisa dengan segelas minuman dingin.

Disini Nisa menatap satu foto besar yang terpampang jelas di ruang keluarga. Dia melihat satu persatu orang yang ada disana dengan mata memicing.

“Triska ini suami kamu?” tanya Nisa menunjuk foto Moza.

“Iya. Dia suami aku, namanya Moza. Yang kecil ini anak aku, namanya Naufal.” jelas Triska memperkenalkan anggota keluarganya meskipun mereka tidak ada.

Mendengar nama Moza, Nisa seolah teringat sesuatu. Tapi apa?


To be continued

Dua Cincin Pernikahan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang